Kondisi kulminasi (titik tertinggi) dan kondisi antiklimaks (titik terendah) menyadarkan kita bahwa tiada lagi kekuatan yang kita miliki. Kita juga menjadi sadar bahwa kekuatan yang kita miliki sangatlah terbatas. Kekuatan manusia atau pun makhluk lainnya dari tidak ada menjadi ada kemudian tidak ada lagi.
Ketika kita dalam kondisi di titik terendah tentu ingin mendaki ke titik yang lebih tinggi. Namun, ketika sampai di titik yang paling tinggi mau tak mau harus kembali lagi menuruni titik yang lebih rendah. Di sini ada sebuah tanda tanya besar. Sesungguhnya kekuatan itu ada di mana? Ketika di bawah atau di atas?
Saat akan mendaki, tenaga dalam kondisi penuh karena suplai mudah didapat. Begitu juga saat akan menurun, tenaga juga penuh karena suplai gravitasi. Di mana letak perbedaan tenaga antara di titik terendah dan di titik tertinggi?
Di titik keduanya mampu karena serba bantuan dari-Nya. Berujung-pangkal pada kelelahan, berawal-akhir dengan istirahat. Dari lamunan itu, muncul kesadaran kenapa firman pertama-Nya menasihatkan agar mengawali dengan membaca Asma-Nya bila hendak membaca, mendaki dan menggali alam manusia.
Asma itu secara global dikenal dengan bacaan Basmalah dengan lafaz bi ismi Allah al-Rahman al-Rahim mengandung tiga Asmaul Husna, nama utama dan terpuji milik Allah. Basmalah terdiri dari tiga alif, menandakan adanya ahadiyah yang memonopoli segala urusan dan kebutuhan makhluk. Semua sembah dan puji tertuju pada satu tempat yaitu kepada Zat sejati yang menggerakkan zat-zat milik makhluk, mulai dari unsur zat tunggal hingga bentukan berupa campuran dan senyawa yang menyusun tubuh makhluk.
Nama utama Allah itu ketiganya diawali dengan huruf alif. Disebut alif dzat al-Wahid yang dalam ilmu makrifat disebut banyu nur alif. Bahwa segala makhluk tercipta karena air, dalam setiap sesi kegiatannya selalu membutuhkan air. Maka harus menyadari adanya banyu nur alif yang meliputi langit dan bumi. Air langit menghidupi makhluk di bumi dan air bumi menghidupi makhluk di laut. Di bawah kuasa Zat yang wujud sendiri tanpa ada yang mewujudkan, Zat yang hidup sendiri tanpa ada yang menghidupkan (qiyamuhu binafsihi).
Genggaman Tuhan dilambangkan dengan huruf ba’, artinya dengan kehendak Allah segala sesuatu terjadi. Dalam ilmu makrifat disebut sebagai sifat sejatinya alam. Bahwa diciptakannya Nabi Muhammad Saw. dengan gelar Nur Allah–biji atau asal dari semua makhluk–sebagai wasilah diciptakannya alam ini. Alif dan ba’ pada Basmalah merupakan pangkal kehidupan, pangkal tenaga, pangkal upaya dan pangkal keberhasilan setiap makhluk baik yang mempunyai insting maupun yang mempunyai akting. Adanya Nur Allah dikarenakan Gustialah akan menunjukkan kepada manusia sekaligus memberikan contoh kepadanya bahwa Gustialah itu Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu yang tercipta.
Bagi makhluk yang berakting (manusia), ketika ia dipasrahi sebagai jawata ing ngarcapada, ia berlaku seolah menjadi tuhan kecil. Di muka bumi ia mengatur kehidupan. Bahkan ia berani merubah pola hidup makhluk yang dikaruniai insting (hewan dan tumbuhan) dengan temuan ilmu rekayasa genetika. Berani memotong siklus dalam sebuah ekosistem dengan mengelabuhi makhluk berinsting melalui inseminasi buatan, media vegetatif sampai dengan membuat biosfer baru demi kepentingan memunculkan varietas pengganti yang terkadang merubah pola hidup makhluk lainnya. Saat kreasinya (rekayasa genetika dll.) menemui kebuntuan, yang dilakukan adalah memulai lagi dari nol.
Usaha dan upaya terdahulu yang menemui kebuntuan seolah dilupakan ketika memulai lagi usahanya dari nol. Tidak menyadari bahwa setiap makhluk mempunyai ketergantungan dengan lingkungannya, baik lingkungan “biotik maupun abiotik”–dalam tanda petik karena sebenarnya semua makhluk mempunyai kehidupan.
Secara lahir, gejala dan akibat perubahan alam seperti pengembangan daya, cipta, rasa dan karsa manusia merupakan penyikapan perputaran kehidupan. Sebuah temuan baru terkadang merupakan temuan yang sudah lama ada. Seperti halnya mode pakaian yang kembali ke nol. Bahkan ada yang bilang, “Simpan pakaian kita sekarang, besok akan jadi modern.” Jangan malu dengan apa yang kita miliki sekarang. Jangan malu dengan pekerjaan dan sarana hidup lain milik kita. Elek elek duwek dhewek kita perjuangkan dari nol atau mungkin dari min dengan segala kemampuan yang kita miliki. Biarkan dibilang kuno toh pada saatnya nanti akan jadi modern dengan sendirinya.
Setelah mempelajari dan memperhatikan (iqro’ – istiqro’) dengan fenomena alam yang seolah selalu berbalik arah, mestinya kita bangga menjadi orang yang nJawani dengan sikap selalu menjiwai terhadap berbagai peristiwa. Kita mempunyai bebasan lengkap untuk menentukan sikap seperti sangkan paraning dumadi, asal usul kejadian. Bumi asalnya tidak ada, manusia asalnya tidak ada, langit dulunya juga tidak ada lalu diadakanlah Nur Muhammad sebagai wasilah alam. Kelak, semua akan kembali tidak ada, kembali ke-Nol.
____________________________
*Selama Ramadan, rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me-review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul ‘Arifin.
0 komentar:
Posting Komentar