Kata maiyah bila diruntut berasal dari bahasa Arab ma’a, bersama atau menyertai, misal akhir QS. al-Baqarah (2):154, “Innallaha ma’as-shobirin”, Allah bersama/menyertai orang-orang yang sabar, setelah sebelumnya berseru agar menjadikan sabar dan salat sebagai senjata meminta pertolongan. Ma’iyah dapat diartikan sebagai faham kebersamaan. Yaitu segolongan orang yang selalu ingin bersama-sama dengan siapa saja, dan melebur dalam bahasa Indonesia menjadi maiyah.
Ber, kata depan yang menunjukkan kepunyaan. Misal berbudi mempunyai arti orang yang mempunyai budi. Bermaiyah dapat diartikan orang yang mempunyai jiwa kebersamaan. Dalam skala besar adalah sekelompok masyarakat yang mendambakan terpeliharanya rasa persatuan dan kesatuan di negeri tercinta, Indonesia.
Alur bermaiyah dimulai dari pribadi yang memperhatikan anggota tubuh yang berbeda fungsi tetapi saling menolong dan membutuhkan. Jika salah satu terasa sakit yang lain ikut merasakan. Lalu keluarga, penghuni sekitar rumah dan akhirnya dengan orang yang sefaham dari berbagai lingkungan. Berbeda nasib tetapi berkeinginan sama, mewujudkan kebersatuan arah “naluri” dalam kebhinekaan hati memayu hayuning bawana. Merindukan kedamaian di setiap sisi kehidupan tak terbatas.
Ngleluri (ngleluhuri) ajaran leluhur memayu hayuning bawana adalah perintah-sebagaimana dalam al-Qashash: 77-tidak berbuat kerusakan di muka bumi serta berusaha berbuat baik dengan siapa dan apa yang ada di bumi semampu mungkin. Tanpa memayu hayuning bawana tidak mungkin mendapat kedamaian.
Melupakan jasa-Nya tidak akan mungkin mendapat kebahagiaan karena kita terus menikmati jasa baik-Nya. Jasa baiknya menumbuhkan bahan makanan dan minuman menjadikan kita mampu memenuhi hasrat makan dan minum. Dengan makan dan minum kita mampu bertahan hidup hingga terjadi dinamisasi dalam kehidupan.
Bermaiyah tidak harus memaksakan kesamaan akidah (Al-Baqarah: 256) tetapi bermaiyah perlu menyamakan kaidah. Kaidah dalam hidup adalah saling tolong dalam berbenah. Dalam berbenah tidak boleh merasa lelah karena akan menimbulkan keputusasaan. Keputusasaan akan menumbuhkan rasa tidak percaya diri. Tidak percaya diri merupakan awal kehancuran hati. Kehancuran hati akan merubah pola pikir. Perubahan pola pikir menjadikan hilangnya kaidah. Hilangnya kaidah menghilangkan daya dan rasa. Bila daya dan rasa hilang rasa bermaiyah pun terhalang. Akhirnya cita-cita kebersamaan tinggal angan-angan. Padahal hidup itu nyata.
Urgensi dari bermaiyah salah satunya menumbuhkan rasa handarbeni terhadap bangsa yang hidup kebanjiran segara madu dan kabegjan kebrayan, anugerah yang tiada tara dengan limpahan sumberdaya alam yang tak ternilai harganya. Bahwa bangsa dan negara Indonesia menjadi “incaran” bangsa lain. Kita mengalami penjajahan dan pendudukan selama hampir empat abad. Seolah belum merdeka meski pascaproklamasi, roda “kehidupan” belum berputar sempurna dan hingga kini ketahanan hidup tidak berubah.
Selama kaidah hidup dipertahankan dalam kebersamaan, kebanjiran segara madu dapat dinikmati. Kenikmatan hidup didapat bila percaya diri dan tidak putus asa. Menyerah boleh tetapi jangan putus asa.
____________________________
*Selama Ramadhan, Rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me-review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul ‘Arifin.
0 komentar:
Posting Komentar