Menemukan Diri Sebagaimana yang Tuhan Inginkan

 


Pada tanggal 17 Juli 2019 kemarin, dalam acara Mocopat Syafaat turut hadir sahabat karib Mbah Nun yaitu Pak Eko Tunas dan Romo Iman Budhi Santosa. Nama yang disebut terakhir kemarin pada acara Kenduri Cinta baru saja menerima Ijazah Maiyah-sebuah penghargaan yang diberikan atas pertimbangan “pelaksanaan kebenaran, kesungguhan, otentisitas, kesetiaan dan keikhlasan kepada diri dan kehidupannya sebagaimana yang Allah SWT niscayakan”.

Poin-poin tersebut masih berkesinambungan dengan tema Mocopat Syafaat malam itu: Mendalami Fadillah dan Otentitas Diri Menuju Cerdas Dunia Cerdas Akhirat. Mungkin dari tema tersebut,  Mbah Nun, khususnya, menginginkan kita sebagai anak cucunya supaya menemukan tujuan hidup beserta hal yang ingin dilakukan. Seandainya belum, teruslah mencari untuk menemukan fadillah serta keotentikan dirimu. Bisa dimulai dengan menemukan dulu kamu sebagai apa, pekerjaanmu apa, serta bakatmu apa.

Banyak hal yang bisa dicatat dari pernyataan narasumber malam itu. Antara lain: temukan dirimu sebagaimana yang Tuhan inginkan. Belajar bisa dengan siapa saja, tapi jangan pernah meniru untuk menjadi seperti mereka. Contohlah burung yang bisa melihat ikan berenang tapi dia tidak bernafsu untuk bisa berenang. Bener durung mesti penersalah durung mesti kalah becik biso kuwalik, makane sing ati-ati.

Juga ada beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh narasumber yang menggambarkan perbedaan realita kehidupan sekarang dengan kehidupan zaman dulu: masih adakah anak perempuan yang menyapu halaman sebelum matahari terbit? Apakah kita masyarakat milenial? Pemburu harta? Dan ingin selalu terkenal?

Mbah Nun sempat berpesan secara khusus agar kita berhati-hati selama lima tahun ke depan, jangan menjadi orang yang gumunan, kagetan, dumehan. 

Kemudian Wirid Wabal dilantunkan.

Bismillahi audzubika ya dzal wabali//bismillahi audzubika ya syadidal ‘iqabi//bismillahi audzubika ya dzal ‘adli wal qhisti//bismillahi shodaqta shodaqta shodaqta shodaqta shodaqta. 

Suasana semakin khusyuk, jamaah menundukkan kepala, seraya bibirnya mengucap, “ya dzal wabal ya dzal wabal ya dzal wabal…”

(Lingga)

Continue reading Menemukan Diri Sebagaimana yang Tuhan Inginkan

Bermaiyah

 


Pambuko rutinan Sanggar Kedirian, malam Sabtu Legi tanggal 19 Juli 2019

Di sebuah pendopo makam waliyullah, obrolan ini terjadi.

“Mas, boleh minta rokok?” tanya seorang pemuda kepada teman ngobrol ngalor-ngidul yang baru dikenalnya.

Monggomonggo. Anggap rokok sendiri saja, Mas,” jawab pemuda yang sedari tadi tidak pernah mencopot pecinya.

“Terima kasih,” tiba-tiba ia bertanya, “Sampean anak Maiyah, ya?”

“Iya. Kok tahu?” 

“Itu, ketahuan dari peci yang Sampean pakai,”

Hoalah, Mas. Tadi dalam hatiku terlanjur geer. Tak kira ngarani cah Maiyah karena hablum minan naas-ku pada Sampean dengan menjadi teman bicara dan memberi rokok sudah baik. Ternyata cuma karena peci yang kupakai ini. Hmmm…” gerutu pemuda berpeci.

“Hehehe, guyon kok, Mas. Biar tidak sepaneng dalam menjalani hidup. Di Maiyah kan juga diajarkan seperti itu,” 

“Lho, sampean kelihatannya tahu banget soal Maiyah. Sering Maiyahan?”

“Cuma pernah sesekali, Mas. Tapi kalau ditanya makna Maiyah yang sebenarnya saya masih mencari alias belum tahu,”

***

Apa sih sebenarnya Maiyah itu?

Mungkin pertanyaan semacam itu pernah mengemuka dalam benak kita. Jawabannya pasti beragam; ada yang mencari makna kata ma’a dulu, kemudian mendasarinya dengan nukilan peristiwa hijrah Kanjeng Nabi yang sempat mampir di dalam gua tsur bersama Abu Bakar; ada juga yang mendasari jawabannya dengan teologi segitiga cinta; bahkan ada yang dengan kepolosannya mengasosiakan maiyah dengan simbol peci bundar berwarna merah-putih sebagaimana ilustrasi cerita di atas.

Lantas jawaban manakah yang paling benar? Entahlah. Semua jawaban itu menggambarkan keotentikan dan kedaulatan masing-masing individu. Juga, di Maiyah, kita diajari bahwa jawaban-jawaban itu sebatas tafsir kebenaran yang belum final. Kebenarannya harus diuji lagi dengan variabel-variabel lain. Seandainya variabelnya sudah habis, belum tentu hal itu benar. Sebab kebenaran hakiki hanya milik Allah, Sang Pemilik Maiyah.

Apakah pambuka sinau bareng ini sudah cukup sebagai pengantar untuk memasuki tema malam ini? Kalau belum, silakan ditambahi dan didiskusikan bersama sebelum menyelam dalam tema: bermaiyah-dengan prefiks (awalan) “ber” sebagai pembentuk verba (kata kerja).

Continue reading Bermaiyah