Ndhedher di Rumah Kedua

 


Bagi saya, Maiyah adalah “rumah kedua”. Rumah yang mempunyai ruangan sangat luas sehingga mampu menampung apapun saja. Saya memandang bahwa masing-masing jamaah Maiyah mempunyai hak prerogratif memegang kunci dan passwordnya, sehingga siapapun ia bisa memasuki rumah tersebut dari segala sisi yang ia sukai.

Hal yang membuat saya seringkali kangen dan betah berlama-lama di rumah ini adalah aktivitas melingkar Sinau Bareng. Karena segala hal yang disampaikan di “Rumah Maiyah” ini bukan merupakan bentuk klaim kebenaran mutlak, bukan pula sesi pengkultusan buah pemikiran yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang harus diamini bersama, akan tetapi intinya lebih pada sesrawungan dalam belajar bersama-sama menikmati proses pencarian kebenaran yang sejati.

Paseduluranasah-asih-asuh, saling memberi rasa aman antara satu dengan lainnya menjadi semen perekat bangunan rumah ini. Maka tak ayal jika dari rumah ini pulalah terinisiasi gerakan-gerakan seperti PPD, Ndeder, Reresik, dll.

Harapan saya semoga “Rumah Maiyah” ini bisa menjadi ikhtiar kebersamaan untuk terus menurus ndhedhernandur serta merawat benih-benih kelapangan hati, keluasan sudut pandang dan kejernihan berfikir sehingga menghasilkan kuda-kuda yang jejeg serta langkah yang mantap. Dan mudah-mudahan dari Rumah ini pula kelak akan tumbuh benih-benih baru yang senantiasa bersemi dari generasi ke generasi berikutnya. Generasi Pembaharu masa depan bangsa. (Andry)

Continue reading Ndhedher di Rumah Kedua

Berbahagia Menuntut Ilmu di Padhang Mbulan

 


Catatan Padhang Mbulan 26 Mei 2019

Bulan yang tidak pada bulatan penuh tidak mengurangi rasa syukur. Memuji Tuhan atas segala nikmat-Nya. Edisi kali ini Padhang Mbulan tidak berada tepat di pertengahan bulan Qomariah. Tanggal 26 Mei dipilih untuk mangayubagyo kelahiran dua pendekar Sentono Arum, Mbah Nun tanggal 27 Mei dan Mbah Mif tanggal 28 Mei.

Mengambil tema “Kunci Kebahagiaan – Cak Mif, Manusia Pendidikan”, Padhang Mbulan kali ini fokus mempelajari Mbah Mif sebagai manusia pendidikan. Miftahus Surur, begitulah nama lengkap Mbah Mif yang berarti Kunci Kebahagian. Malam ini memang banyak sumber kebahagiaan didapat.

Suasana Desa Menturo seperti ada hajatan layaknya pernikahan atau perayaan bersih desa. Disepanjang jalan sekitar Sentono Arum beriringan pedagang menawarkan dagangannya. Di antaranya pecel, nasi goreng, martabak, tahu solet, kacang. Tak ketinggalan odong-odong siap memberikan kegembiraan bagi adik-adik yang datang. Memang saat Padhang Mbulan digelar, Desa Menturo seakan sedang merayakan hari raya. Hari Raya Menturo, begitulah kiranya.

Saya sendiri datang lewat jalan dari arah barat. Jalan ini jarang dilalui orang yang akan datang ke Padhang Mbulan. Mayoritas melewati Desa Sebani yang lebih ramai dilewati orang. Setelah berbuka puasa, segera saya mengambil tempat duduk. Alhamdulillah menempati posisi di garis tengah antara panggung pakeliran dan panggung maiyahan. Dengan hitungan baris sekitar nomor 7 dari depan. Posisi terbaik berada di tengah-tengah. Tidak terlalu depan dan belakang.

Sejak ba’da Maghrib jamaah memang sudah ramai duduk rapi mengisi baris depan. Tujuan utamanya tentu maiyahan. Sehingga secara tidak sengaja jamaahnya menyebut dirinya Jamaah Maiyah. Nama “Jamaah Maiyah” muncul bukan karena keanggotaan, tanpa peresmian legal, apalagi baiat.

Panggung lain dari biasanya. Sebelah kiri pakeliran wayang dan sebelah kanan panggung untuk maiyahan lengkap dengan Kiai Kanjeng.

Pedagang asongan berlalu lalang di sela-sela jamaah. Berusaha mengamalkan “Wa laa tansa nasibaka min ad-dunya”. Ada beberapa yang datang dari jauh memang berniat maiyahan. Hasil dari penjualan untuk menutupi biaya perjalanan. Selama tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung, kegiatan ekonomi ini saling menguntungkan bagi jamaah maupun bagi penjualnya. 

Seperti biasa TPQ Halimatus Sa’diyah menempati urutan pertama dalam rangkaian acara. Kehadiran mereka menyiratkan rasa optimis akan terbitnya mentari baru. Adik-adik ini memang sudah terlatih setiap bulan menampilkan tartil, drama, qasidah, shalawat dengan formasi yang selalu berbeda. Betapa payahnya menjadi pengajar TPQ ini, setiap bulan harus melatih santrinya. Babul Farah-pintu surga bagi orang yang membahagiakan anak-anak-sudah siap sedia untuknya. Amin.

Pakdhe Qoyyum yang biasanya tartil pada malam ini melantunkan qiroah Surat Maryam ayat 1-15. Perbedaan tartil dan qiroah, tartil membaca Al-quran dengan pelan-pelan dengan komposisi lagu sederhana sedangkan qiroah melagukan Al-quran dengan suatu nada pakem yang lebih kompleks. Pakdhe Qoyyum mengakhiri dengan ayat wa salaamun ‘alaihi yauma wulida wa yauma yamutu wa yauma yub’atsu hayyaa. Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali. Persembahan qiroah Pakdhe Qoyyum atas ulang tahun Mbah Nun dan Mbah Mif.

Pakdhe-pakdhe Kiai Kanjeng mulai naik ke panggung. Pakdhe Qoyyum, Cak Yus, Pak Saiful, Mas Hilmi turut serta. Tak ketinggalan Ibu Via bersama Mbak Hayya juga bersiap memberikan beberapa persembahan.

Mbak Haya mempersembahkan lagu Yansin Gaceler. Lagu Turki ini memang langganan dicover bersama dengan Kiai Kanjeng ketika Mbak Haya menjadi vokalnya. Disusul Lagu kalimah oleh Ibu Via bersama vokalis lengkap Kiai Kanjeng.

Sebelum sesi Mbah Mif untuk dieksplorasi, Ibu Via yang sudah di panggung diminta pendapatnya mengenai pendidikan. Ibu Via sebagai ibu dari Haya, Jembar dan Rampak tentu punya kiat-kiat mendidik anaknya.

Saat pengambilan rapor anaknya, yang ditanyakan Ibu Via pertama kali bukan nilainya. Kejujuran yang utama. Sewaktu kolom kejujuran tertera “B”, dicari apa penyebab sang anak memiliki nilai itu. Memang nilai bisa diusahakan dengan rajin belajar namun kejujuran lebih penting karena buah dari proses pembentukan karakter.

Tentu ini banyak berbeda dengan lembaga sekolahan yang ada saat ini. Nilai merupakan hal terpenting. Sekolah terbaik adalah sekolah yang memiliki nilai terbaik, bagaimanapun caranya. Begitu juga dengan indikator pendidikan di suatu daerah. Nilai menjadi ranah politik untuk mengukur suatu daerah memperoleh predikat pendidikan terbaik.

Untuk itu, orang tua harus menjadi guru utama bagi anaknya. Guru di sekolah hanya membantu murid. Suatu kesalahan bila orang tua menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada guru sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Proses pendidikan karakter paling besar pengaruhnya adalah keluarga.

Mbah Mif mulai dieksplorasi untuk menggali lebih dalam bagaimana perjalanan hidup beliau. Keputusan Mbah Mif meninggalkan kuliahnya tentu bukan keputusan yang mudah. Pergolakan batin atas keputusan tentu banyak dilalui. Pada waktu itu, Farmasi UGM menjadi jurusan favorit. Ditambah, belum banyak kuliahan seperti sekarang.

Pertanyaan dari Mas Hilmi, “Saat itu Mbah Mif masih muda, tentu lumrah jika punya cita-cita. Apa cita-cita Mbah Mif?” Mbah Mif hanya menjawab dalam keluarga kami selalu ditanamkan “dadi opo wae iku ra penting seng penting manfaat gawe wong akeh.” Tentu ini sejalan dengan hadis nabi bahwa sebaik-baiknya manusia yaitu manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Tibalah saatnya pagelaran wayang yang ditunggu-tunggu. Mas Dalang Sigid Ariyanto bersama rombongan Sanggar Seni Cakraningrat dari Rembang. Membawakan lakon Dewa Ruci. Lakon yang sakral di cerita wayang. Bercerita tentang Brotoseno yang mencari ilmu kesejatian. Singkat kata akhirnya bertemu dengan dirinya sendiri dalam rupa yang kecil. Itulah Dewa Ruci.

Ngopi, ngrokok, duduk santai “njigang” adalah aktivitas maiyahan yang nikmat. Sungguh enak menjadi Jamaah Maiyah. Apalagi sekarang ada wayangan. “Fa biayyi Alaa-i Rabbikuma Tukadzdziban?”. Nikmat Tuhan mana lagi yang masih kurang saat ikut maiyahan.

Banyak pelajaran dari lakon ini. Brotoseno yang patuh pada perintah gurunya, Pandita Durna. Wejangan Semar tentang meminta maaf pada Sang Pembuat Kehidupan. Tak lupa bersyukur atas limpahan anugerah alam.

Perjalanan Brotoseno pun penuh liku-liku. Membuka hutan mencari “kayu gung sungsuhing angin” yang ternyata hanya apus-apus gurunya. Namun hikmahnya, bertemu dengan Batara Bayu dan Batara Surya yang memberi saran melakukan perjalanan ke Samudra Minangkalbu. Semar menjelaskan Minangkalbu berarti di dalam kalbu atau hatimu. Brotoseno mengarungi samudra mengalahkan binatang-binatang ganas. Bertemu Dewa Ruci yang lebih kecil dari dirinya sekitar 20 lipat.

Wayang usai. Sesi berikutnya maiyahan. Mbah Fuad, Mbah Mif dan tentu saja Mbah Nun sudah menempati posisi di panggung. Secara pelan-pelan Mbah Nun menjelaskan lakon wayang yang baru saja dipentaskan. Samudra bisa bermakna kehidupan ini. Penuh gelombang dan ombak yang mengombang-ambingkan perahu yang berlayar di atasnya. Untuk menemukan kesejatian hidup memang harus bekerja keras mengarungi samudra kehidupan ini.

Brotoseno yang masuk ke telinga Dewa Ruci tentu bukan peristiwa fisika materiil. Dewa Ruci dengan ukuran yang sangat lebih kecil dari Brotoseno menandakan ini peristiwa metafisika, peristiwa rohani. Lakon ini dari awal sampai akhir memang sebuah perjalanan rohani.

Mbah Fuad menerangkan tentang “ghulluwwun“. Berlebihan dalam membenci. Fenomena saat ini sangat berlebihan dalam membenci. Bertolak belakang dengan harapan doa di ayat Al-quran, “Wa Laa taj’al fi qulubina ghillal lilladziina amanu”.

Sudah sering Ulul Albab diterangkan Mbah Fuad maknanya. Malam ini diulangi lagi. Selain dipraktekkan, pelajaran memang perlu diulang-ulang agar benar-benar menancap menjadi sebuah kesadaran.

Albab jamak dari “lubbun”, kesadaran paling kecil di hati dan di pikiran. Salah satu arti dari Ulul Albab adalah orang yang bersedia menampung apa saja tapi sangat berhati-hati memilih tindakan outputnya, baik perkataan maupun perilakunya. 

Mbah Fuad juga menyinggung tentang thaghut. Jauhilah menyembah thaghut. Sikap berlebihan terhadap golongan, perkumpulan, madzhab, partai, organisasi.

Mbah Nun berpesan untuk tetap teguh. Saat maiyahan bisa bertahan duduk berjam-jam sampai menjelang subuh merupakan bukti bahwa kita sudah berada di gelombang yang berbeda dengan gelombang pada umumnya. Jangan terpancing dengan gelombang lain yang kurang mengerti dengan apa yang kita lakukan. Fokus saja berbuat baik. (Asrul)

Continue reading Berbahagia Menuntut Ilmu di Padhang Mbulan

Bacalah!

 


Reportase Sanggar Kedirian 10 Mei 2019

Lantunan Doa Tahlukah, Hizb Nashr, dan wirid Thibbil Qulub sebagai pembuka rutinan malam itu. Meski hampir tidak terdengar karena tenggelam oleh ramainya kendaraan yang berlalu lalang, namun tidak menyurutkan semangat sedulur Sanggar Kedirian untuk melingkar di lokasi baru: Taman Hutan Jayabaya.

Setelah wirid selesai, Kang Adnan menyampaikan poin-poin hasil dari Syukuran ‘Ajibah Maiyah pada waktu acara Padhang Mbulan kemarin. Dari banyaknya poin yang disampaikan, semakin menambah rasa syukur dalam benak saya-barangkali juga sedulur yang lain-karena dipertemukan dengan Maiyah. Dan shalawat Ya Thaybah yang  dibawakan oleh Kanjeng Kustik adalah salah bentuk syukur sebelum acara inti dimulai.

Para penatua Sanggar Kedirian membagi jamaah yang hadir menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok mempunyai tugas membuat tiga pertanyaan yang berkaitan dengan tema Wayahe Moco. Pertanyaan tersebut kemudian didiskusikan bersama-sama.

***

“Lebih dulu mana membaca dengan mengerti yang harus dibaca?” tanya perwakilan kelompok dua.

“Membaca ya membaca. Tidak perlu acuan untuk memulainya,” jawab perwakilan kelompok empat.

Sementara kelompok satu menjawabnya dengan menyodorkan sudut pandang lain, “Itu kebutuhan atau dibutuhkan?” Hanya kesadaran dari diri kita masing-masing yang mengetahui jawabannya. “Lantas bagaimanakah cara untuk menumbuhkan kesadaran?”

Kelompok tiga menjawabnya dengan menekankan perlunya menyelam ke dalam diri, berintropeksi. Misalnya dimulai dari hal sepele mengubah kebiasaan membuang sampah pada tempatnya.

Sementara kelompok dua menjawabnya dengan teori kesadaran, “Ada beberapa tahap dalam kesadaran: pertama kesadaran magis atau gerak refleks. Kedua, kesadaran naif: karena masih baru, maka ada sedikit keraguan dalam bertindak. Ketiga, kesadaran masif: mulai melakukannya dalam banyak hal. Dan terakhir, kesadaran praksis atau kesadaran tindakan.”

***

Sebelum acara dipungkasi dengan pembacaan shalawat, para penatua membekali sedulur-sedulur bagaimana cara menyikapi opini di media sosial yang menyudutkan Mbah Nun. Bisa dengan mengintrospeksi diri, jangan-jangan kita sendiri termasuk pihak yang menyudutkan. Bisa juga dengan merecehkannya dan mengisinya dengan konten yang mendinginkan isu.

Sebab semua pertarungan di media sosial, jika dilihat dari jarak pandang yang agak jauh, sebenarnya tidak lebih dari rekayasa para pemilik modal.

Continue reading Bacalah!

Indónésia Bòdò

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian, Malam Sabtu Legi 14 Juni 2019


Bodo artinya lebaran, tapi harus benar cara mengucapkannya. Bodo istilah lain dalam bahasa Jawa yang artinya lebaran. Bodo kalau salah ucap bisa bermakna bodoh sehingga ini menjadi menarik dikaji apakah kita merayakan hari raya secara tepat atau malah tergiring ke hal-hal yang bodoh dan jauh dari nilai hari raya Idul Fitri.

Hiruk pikuk mudik menjadi pemandangan umum setiap tahun. Macet di jalan sudah menjadi rutinitas. Desa menjadi ramai oleh kedatangan orang-orang asli desa yang tinggal di kota. Hari-hari biasa dengan rutinitas perkotaan serentak libur untuk sejenak.

Momen Idul Fitri menjadi waktu yang pas untuk mendatangi sangkan paran. Sungkem dan memohon restu adalah agenda utama ketika berkunjung ke orang yang lebih tua.

Pemberitaan di televisi juga demikian. Para politikus sibuk bersilaturahim. Ada juga yang mengadakan acara open house. Membuka rumah untuk khalayak umum bebas bersalaman dengannya.

Keadaan ini semestinya menjadi cermin dan momen untuk melupakan dan memaafkan segala pergulatan politik yang sebelumnya terjadi. Tingkah konyol perpolitikan luluh saat datang Idul Fitri ini.

Mbah Nun dalam tulisannya berjudul “Mudik ke Rumah Fitri”, “Tahap paling awal dari Mudik adalah belajar kembali menjadi manusia, manusia saja, atau manusia thok, tanpa embel-embel. Kalau kita Menteri, mudik adalah belajar tidak menjadi Menteri. Kalau kita penguasa, bersimpuh di lutut Ibu di kampung harus dengan terlebih dulu melepas baju penguasa. Jabatan, pangkat, reputasi, prestasi, status dan macam-macam lagi, adalah pakaian, jas, jaket, dasi, emblem, bahkan banyak yang fitri-nya sekedar bedak, pupur, gincu, kosmetika…”

Mungkinkah Indonesia dengan diwakili para pemimpinnya benar-benar melakukan “fitri”. Indonesia Bodo atau Indonesia yang berhari raya karena kembali ke kesuciannya. Atau Indonesia memilih dirinya menjadi Indonesia Bodoh dengan terus melakukan pertengkaran?

Indonesia sudah tidak boleh lagi salah baca dan ucap. Indonesia bodo, kalau salah ucap dan salah baca bisa berarti bodoh yang bisa menjadikan kita menjadi salah merayakan hari raya dengan kebodohan. Secara universal, Indonesia tidak boleh lagi salah baca dan salah ucap secara budaya ekonomi dan politik.

Atas hal diatas, maka kami mengajak dulur-dulur untuk melingkar sinau bareng di rutianan Majelis Masyarakat Maiyah Sanggar Kedirian untuk sinau Indonesia Bodo, Indonesia yang benar-benar “fitri” pada Jumat malam Sabtu Legi, 14 Juni 2019 di Taman Hutan Kota Joyoboyo Kota Kediri. Mulai pukul 20.30 WIB sampai selesai.

Salam lebaran mohon maaf lahir dan batin.

Continue reading Indónésia Bòdò