Review Angon Mangsa

 

Kiratha basa dari mangsamamang ing rasa, bahwa setiap orang mempunyai rasa keragu-raguan. Ada yang bilang mongsa, ngemong rasa, berarti sabar dalam berbagai keadaan. Namun kebanyakan ditulis dengan mongso yang diartikan sebagai waktu.

Bagaimana sebuah tulisan jangan dijadikan penyebab lupa diri terhadap keterbatasan kita. Bahwa mawas diri perlu dilakukan, jangan pernah puas dan putus asa dengan yang kita miliki berlandaskan syukur. Usaha dan syukur berdampingan angon mangsa.

Sepadan dengan itu al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berfatwa:

وإنما تحصل الهموم والغموم والأحزان من جهتين “
إحداهما : الرغبة في الدنيا والحرص عليها
” والثاني : التقصير في أعـمال البر والطاعة

“Hanya saja kegundahan, duka cita dan kesedihan muncul dikarenakan 2 sebab:
1. Cinta dunia dan ambisi kepadanya.
2. Kurang dalam beramal kebaikan dan ketaatan.”

‘Udatush Shabirin hal. 265.

Semoga Bermanfaat.

[Bustanul 'Arifin]

Continue reading Review Angon Mangsa

Belajar Kepada Kisah Umat-Umat Terdahulu

Reportase Rutinan Sanggar Kedirian 21 Desember 2018


Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

(Puisi Hujan di Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono)

Barangkali puisi tersebut sudah tidak asing lagi. Namun hanya sedikit yang tahu bahwa sebelum puisi tersebut lahir, dalam benak Sapardi-yang saat itu baru saja mengalami fenomena hujan salah mongso-timbul pertanyaan, kenapa hujan mesti repot-repot datang di bulan Juni yang merupakan puncak kemarau?


Jika dari pertanyaan tersebut kemudian lahir puisi Hujan di Bulan Juni, itu hak Sapardi sebagai seorang penyair. Beda cerita dengan Mbah Nun. Beliau tidak bisa diidentifikasi sebagai penyair saja. Wajar jika kemudian, saat menyinggung fenomena salah mongso, menurut beliau hal itu terjadi karena ada yang sedang berubah pada diri manusia.

Sebab manusia adalah ciptaan Allah adalah saudara muda dari alam adalah termasuk bagian dari alam. Otomatis setiap perilaku manusia akan berdampak pada lingkungan sekitar. Pernah mendengar cerita tentang alat kelamin yang mengalami keanehan setelah kencing sembarangan itu salah satu contohnya.

***

Pada malam Sabtu Legi bulan Desember yang lalu sedulur-sedulur Sanggar Kedirian melingkar bersama di pelataran mushola GNI. Adapun tema rutinan malam itu ialah Angon Mongso. Menurut mas Andri, fenomena salah mongso-dalam artian luas-yang semakin banyak ini menuntut kita untuk meng-angon-nya. Sebab manusia adalah khalifatul fil ardh maka seharusnya kesadaran itu ditanam dalam diri kita, begitu menurut mas Tri Santoso.

Nah, bagaimana caranya? Salah satunya dengan metode rumah kaca. Bahasa mudahnya, ndandadi, atau meminjam bahasanya Cak Adnan membuat ‘cuaca’, di sekitar kita dahulu agar menjadi lebih baik. Bisa dimulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga kiri-kanan, teman-teman terdekat dan lingkungan sekitar.

Makdhe Budi Giren, mbah Meikel Ibrahim dan mas Sigit kemudian mengingatkan agar selalu berhati-berhati dan waspada dalam mengambil tindakan. Pun, mas Habib juga menggarisbawahi tentang kesadaran sebagai makhluk Allah, yang diciptakan jauh setelah alam dibuat, benar-benar terpatri dalam diri kita. Supaya kejadian salah mangsane umat-umat terdahulu tidak terjadi lagi.

Mbah Bustanul Arifin kemudian mengisahkan tentang umat-umat terdahulu; pengendalian diri umat Nabi Nuh ketika di terombang-ambing di atas kapal; penyebab kehancuran umat Nabi Hud dan Nabi Sholeh; pembangunan kembali ketauhidan pada masa Nabi Ibrahim yang kemudian disempurnakan oleh keturunannya yaitu Kanjeng Nabi Muhammad.

Semua kisah yang telah dipaparkan oleh mbah Bustanul Arifin tersebut tak lain agar menjadi cerminan bagi diri kita masing-masing. Sudahkah kita lebih baik, lebih arif, dan lebih bijak daripada hujan di bulan Juni?

Continue reading Belajar Kepada Kisah Umat-Umat Terdahulu

Angon Mongso

Pambuko rutinan Sanggar Kedirian 21 Desember 2018


Pada suatu masa yang jauh, sang raja dari sebuah negeri yang konon disebut sebagai salah satu negeri penggalan surga, baru saja mengalami sebuah mimpi yang ganjil. Para ahli tafsir mimpi dikumpulkan. Satu persatu disuruh menafsirkan keganjilan mimpi tersebut. Namun, tidak satupun yang mampu melegakan perasaan sang raja. Suasana seketika menjadi gamang. 

Di saat kegamangan mencapai puncaknya, seorang gedibal memberanikan diri berbicara. “Ampun, Baginda,” kata si gedibal, “Hamba mengenal seseorang yang mampu menafsirkan mimpi tersebut.”

“Jangan asal bicara, wahai alas kakiku,” hardik sang raja,”Semua ahli tafsir mimpi yang ada di negeri ini sudah kukumpulkan. Orang mana lagi yang kau maksud?”

“Kenalan hamba bukan penafsir mimpi, Baginda. Ia hanya seorang hamba Tuhan yang lebih memilih penjara daripada…”

“Aku ingat orang itu,” sahut sang raja, “Lekas temui dan ceritakan padanya ihwal mimpiku!”

Sendika, Baginda.” kata si gedibal sembari beringsut pergi.

Sesampainya si gedibal di penjara dan setelah membicarakan basa-basi untuk kepantasan, ia langsung menyatakan maksud kedatangannya, ”Wahai Yusuf, terangkanlah arti dari mimpi sang raja tentang tujuh ekor sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus dan ada tujuh tangkai gandum yang hijau sementara tujuh tangkai lainnya kering.”

Begitulah, kelanjutan dari kisah tersebut dapat kita lihat sendiri dalam Al-qur’an Surat Yusuf. Syukur, kalau bisa, dengan sedikit mentadabburinya, hasil dari tadabbur tersebut dapat kita rembug bersama dalam rutinan Sanggar Kedirian yang kebetulan mengambil tema yang masih berkesinambungan dengan cerita diatas: Angon Mongso.

Memang tidak semua manusia mempunyai keahlian men-takwil mimpi seperti yg dianugerahkan Allah kepada Kanjeng Nabi Yusuf, mampu merinci dan menjelaskan apa gerangan yang terjadi di musim mendatang. Pertanyaannya sekarang apakah kita lantas diam saja menghadapi “musim/cuaca” yg sedang berlangsung di negeri kita ini, yang muskil untuk kita takwilkan?

Sebisa-bisanya dengan bekal sejimpit ilmu mininal jika belum bisa membuat “cuaca”, yang bisa kita lakukan dalam lingkaran kita adalah bersama-sama membuat “rumah kaca”. Walaupun kecil namun di dalam rumah kaca itu semoga cuacanya tertata dan yang tumbuh adalah benih-benih yang benar-benar bagus.

Karenanya mari bersama-sama sinau bareng, melingkar dalam rutinan Sanggar Kedirian, bersama-sama belajar angon mongso, belajar memperkokoh kuda-kuda untuk menghadapi dan mempersiapkan segala hal yang terjadi. Bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk kita, anak kita, istri kita, keluarga kita dan lingkaran-lingkaran kecil di sekeliling kita.

Continue reading Angon Mongso

Ngadhemi

Pambuko Sanggar Kedirian 16 November 2018

Batu bergesekan dengan batu akan memercikkan api, keras kepala bergesekan dengan keras kepala akan memercikkan bara yang disulut kebencian. Ketika ada pembakaran kemudian dibalas dengan kebakaran lainnya, tentu akan tercipta situasi chaos. Bahkan sampai tercipta jihad dibalas jihad namun yang nyata terlihat adalah perang saudara. Kebenaran dengan kebenaran yang lain saling menyerang. Teriakan "Allahu Akbar" bergesekan dengan teriakan "Allahu Akbar" lainnya. Hal ini tentu menjadikan kita rindu akan hal yang saling meneduhkan, sesuatu yang mampu mendinginkan suasana, siraman yang menyejukkan.

Ingatkah kita dengan kisah Rosulullah yang setiap hari dicaci-maki oleh seorang perempuan pengemis buta, sementara Rosulullah tetap sabar setiap hari menyempatkan diri untuk menyuapi penuh kasih sayang kepada sang pengemis buta yang setiap hari mencaci-maki dihadapan Rosulullah. Sampai akhirnya Rosulullah meninggal barulah sang pengemis buta tahu bahwa orang menyuapi penuh kasih sayang adalah Rosulullah yang setiap kali dicaci-makinya dengan dibilang pembohong penyihir. Karena kasih sayang Rosulullah itu akhirnya sang pengemis buta bersyahadat.

Rosulullah itu sifatnya selalu ngadhemi dalam artian mampu mendinginkan saat ada bara, mampu menghangatkan saat suasana dingin. Bangsa Indonesia butuh sosok-sosok yang mampu ngadhemi bagi siapapun saja dalam skala rumah tangga, sosial lingkungan sekitar hingga skala negara.


Continue reading Ngadhemi

Ampun Duko

Pambuko rutinan Sanggar Kedirian Oktober 2018

Dengan segenap kerendahan hati, kami mohon ampun padamu Ya Rabb. Mungkin telah lama kami berbuat dosa. Dosa yang tak berkesudahan.

Gempa dan Tsunami di Lombok, Palu dan Donggala. Gunung Gamalama yang mulai mengeluarkan asap. Gunung Soputan dan Krakatau yang sudah lebih dulu metetus.

Arti beberapa kejadian akhir-akhir ini memang menjadi rahasia-Mu. Kami sebagai hamba hanya bisa graito sajroning manah bahwa kami memang harus berbenah. Menemukan kembali letak kesalahan-kesalahan untuk tidak kami lakukan kembali.

Kami memang pantas Engkau hukum gempa, karena sebenarnya kami telah membuat gempa diri kami sendiri, yakni gempa budaya yang sudah tak peduli aturanMu.

Kami membuat tsunami politik yang tidak peduli cinta kasihMu.

Kami membuat banjir informasi yang tidak peduli kebenaranMu.

Kami membuat badai ekonomi yang tidak peduli halal haram Mu.

Kami sedang menjalankan peradaban dimana dosa selalu dilimpahkan pada yang lain. “Salah itu mereka dan benar itu saya”. Dosa terbesar kami ialah tak pernah merasa berdosa. Terlampau besar dosa kami jika dibandingkan peringatan yang Engkau beri. Mungkin juga, ini malah bentuk cinta-Mu. Kuterima cintamu Ya Rabb, meski cinta itu berupa hukuman.

Tunjukkan kami ke jalan orang-orang yang Engkau beri kenikmatan. Kenikmatan dari-Mu, versi-Mu. Bukan jalan kenikmatan semu yang membuat Engkau marah. Bukan pula jalannya orang-orang yang sesat. Saking sesatnya Engkau bahkan tak peduli, naudzubillah.

“Ihdinash-shiroothol-mustaqiim.Shiroothollaziina an’amta ‘alaihim ghoiril-maghdhuubi ‘alaihim wa ladh-dhooollin.”

“Ampun Duko”.”Kumohon Engkau tidak murka”.

Continue reading Ampun Duko

Jati Diri Kemerdekaan

Reportase Sanggar Kedirian 7 September 2018


Rutinan kali ini mengambil tema “Pejalan Kamardikan”, tema kemerdekaan yang notabene sudah telat mengingat acara ini diselenggarakan pada bulan September. Namun, pertimbangan ini malah menjadikan kita lebih mencari lagi arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Bukan hanya kemerdekan dalam arti sempit yang biasa dirayakan setiap bulan Agustus.

Momen kemerdekaan semestinya merupakan momen sakral, muhasabah, taqarrub, tasyakur. Perlu mencari bagaimana seharusnya menghayati kemerdekaan jika melihat tren yang terjadi sekarang mengarah kepada perayaan semata. Mensyukuri kemerdekaan diartikan menyelenggarakan acara-acara yang kurang mengandung nilai-nilai kemerdekaan itu sendiri.


“Kemerdekaan tidak hanya diekspresikan dengan lomba-lomba, karnaval, dan perayaan lainnya. Kemerdekaan yang sebenarnya justru mengerti batas. Tidak berbuat seenaknya. Tidak merugikan orang lain. Membuat orang lain merdeka atas apa yang kita lakukan.” Tegas Kang Budi tentang makna kemerdekaan.

Kemerdekaan yang sebenarnya ialah mengerti tentang batas, bukan malah sebebas-bebasnya. Tidak berbuat seenaknya. Membuat nyaman orang di sekitar. Membuat orang lain merasa merdeka. Kemerdekaan itulah yang merupakan rahmatan lil ‘alamin.

Martabat manusia juga mesti dijaga. Memanusiakan manusia memang selayaknya dilakukan. Tidak merendahkan martabatnya. Menganggap harga diri manusia lebih rendah daripada binatang. Menghargainya dengan nilai materiil. Perilaku itulah yang membuat manusia turun derajat menjadi binatang dan sudah barang tentu bukan ciri manusia merdeka.

“Merdeka itu memanusiakan manusia. Lebih baik tidak berbuat apa-apa daripada mengganggu dan menghilangkan martabat orang lain sebagai manusia.”Ulasan salah satu jamaah menanggapi banyaknya fenomena pimpinan perusahaan sering berbuat semena-mena terhadap bawahannya.

Bukan main senangnya ketika menang melawan orang lain dan tak tahu bahwa kemenangan sejati ialah melawan dirinya sendiri. Melawan diri sendiri dari hawa nafsu. Sifat keserakahan yang selalu menggoda. Kemerdekaan sejati ialah menang melawan hawa nafsu.

Sudah saatnya mengisi kemerdekaan ini dengan saling bekerja sama. Saling mengisi satu sama lain. Tidak saling iri, menghujat, adu kemenangan satu sama lain. Saling menyadari kesalahan sendiri musti ditumbuhkan lagi. Gotong royong menjadi perilaku wajib sehari-hari.

“Kun Kalyadaini wala takun kal udzunaini. Dalam hal sinergitas kerjasama jadilah seperti dua tangan yang mempunyai tugas masing-masing dan saling mengisi, bukan seperti dua telinga ketika dipakaikan anting, saling iri ketika hanya salah satu yang memakai. Bojo bukan tentang konco turu. Bojo dibahasakan sisihan yang berarti punya deskripsi kerja yang berbeda dan bisa selaras. Seperti sepasang sandal yang justru mempunyai bentuk berbeda bisa dipakai di kaki dan menciptakan keselarasan. Akan merasa sisihan jika salah satu sandal hilang.” Pesan Yai Bustanul ‘Arifin menjelang ditutupnya acara.

Kang Fajar selaku moderator menutup acara dengan mengutip satu pesan dari Buya Hamka, ”Kalau tuhan tidak menjadikan perhambaan dan perbudakan, tentu tidak akan timbul keinginan hendak mengejar kemerdekaan. Memang kalau tiada kesakitan, orang tidak mempunyai keinginan untuk mengejar kesenangan. Oleh itu tidak keterlaluan jika dikatakan bahawa sakit dan pedih adalah tangga menuju kejayaan.” (Redaksi Sanggar Kedirian)


Continue reading Jati Diri Kemerdekaan

Pejalan Kamardikan

Pambuko Sanggar Kedirian 7 September 2018


Garuda Sepi
Sepinya hati Garuda
Dijunjung tanpa jiwa
Menjadi hiasan maya
Oleh hati yang hampa

Dendam rindu tiada kata
Disayang tanpa cinta
Dipuja dan dihina

Alangkah tak terbatas jumlah fakta tentang Indonesia yang kita tidak tahu, andaikan ada yang menjawab itu semua tidaklah akan sampai pada kebenaran apapun, kecuali berhenti pada versi versi masing-masing.

Sehingga kita lebih memilih untuk menarik ke dalam diri saja, dan membawa kita pada sebuah pertanyaan, “Apakah kita sungguh mengenal Indonesia, mencintai dan peduli padanya? Benarkah kita mencintai dan peduli padanya? Bisakah kita berpikir bahwa bangsa yang seperti ini adalah bangsa Indonesia? Kita semua berpikir ini adalah manusia Indonesia. Kita pikir begini ini Garuda? Dan lantas bagaimana cara kita memperlakukan kemerdekaan?”
Kebanyakan manusia menyangka ia sanggup menjalani kemerdekaan. Manusia mengira kemerdekaan dan kebebasan adalah jalan yang mereka mampu menempuhnya. Bahkan manusia berpikiran bahwa mereka bisa memakan kemerdekaan, menelan kebebasan, serta mengenyamnya sebagai kenikmatan utama hidupnya?
Continue reading Pejalan Kamardikan

Belajar Skala Prioritas untuk Bedakan Alat dan Tujuan

Reportase Sinau Bareng CNKK di Taman Tirtayasa, 18 Agustus 2018


Sinau Bareng kali ini dalam rangka Milad SMK Al-Huda yang ke-29. Bertempat di Tirtayasa Park, acara yang biasanya dimulai pukul 21.00 WIB, kali ini maju satu jam lebih awal.

Mbah Nun mengajak jamaah mempelajari afdholiyatil asya’, skala prioritas. Agar bisa membedakan antara alat dengan tujuan, washilah-ghoyah. Diperluas lagi bisa membedakan antara wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.


“Hidup ini maraton atau sprint?” Tanya Mbah Nun kepada jamaah. Kemudian beliau menjelaskan bahwa dunia ini ibarat perlombaan lari maraton sementara finishnya yaitu di akhirat. Dari situ yang bisa digarisbawahi ialah adanya jalan panjang yang harus ditempuh, tak perlu tergesa-gesa, lebih mengutamakan keteraturan dalam mengambil “nafas” sehingga sukses mencapai akhirat. Dalam bahasa al-Quran disebutkan, Wabtaghi fii maa ataaka daral akhirah, wa laa tansa nashiibaka minaddunya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.

Acara kemudian break sejenak dilanjutkan dengan penawaran kepada jamaah untuk maju, bernyanyi bersama Kiai Kanjeng. Seorang jamaah membawakan syair karya Sosrokartono, yang dipopulerkan oleh Sujiwo Tejo, Sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji… Pakdhe-Pakdhe Kiai Kanjeng yang meresponnya secara spontan ndilalah langsung kllik, selaras dengan lagu tersebut. Para jamaah yang hadir pun ikut bernyanyi bersama.


Paska jeda sejenak, jamaah diajak mendalami sekaligus meluaskan pandangan soal skala prioritas dalam kehidupan. Misal saat membahas skala prioritas dalam pendidikan: yang paling utama dinas pendidikan atau sekolahannya atau muridnya? Ya jelas muridnya. Artinya, demi nama baik sekolah ataupun demi kepentingan dinas pendidikan setempat, tidak boleh mengorbankan murid! Semoga kelak salah satu siswa SMK Al-Huda ada yang menjadi pemimpin, begitu harapan Mbah Nun. “Namun jangan lupa harus tetap rendah hati. (Menerapkan sikap) akhlaqul karimah“.


Sebelum mengakhiri acara sinau bareng, Mbah Nun berpesan agar memfokuskan hidup hanya kepada Allah dan Hubburrasul. Jangan terlalu berharap kepada pemerintah dan ulama. Sekarang ini orang tidak tahu perbedaan antara negara dengan pemerintah.Negara milik rakyat. Pemerintah dipasrahi untuk mengurusnya. Negara tetap jalan meski pemerintahnya tidak jalan. Negara melantik pemerintah. Presiden bukan pemimpin negara sekaligus pemimpin pemerintahan seperti yang ada sekarang. Pemerintah bersifat sementara dan periodik tapi negara berlaku seterusnya. Di situ ada rakyat, ada negara yang berdaulat.

Juga tidak tahu perbedaan antara ulama dengan fuqoha. Ulama itu universitas; orang yang dapat melakukan banyak hal; tahu permasalahan dan solusinya; bisa disambati orang karena tahu hatinya orang yang sedang susah dan senang. Sedangkan fuqoha itu salah satu fakultasnya. Fuqoha ialah orang yang hanya mengerti hukum Islam. Artinya, orang yang ahli hukum Islam tanpa tahu bidang lain belum bisa disebut ulama.
Continue reading Belajar Skala Prioritas untuk Bedakan Alat dan Tujuan

Wani Ndadi

Pambuko Sanggar Kedirian 3 Agustus 2018

Barangkali masih ada pikiran yang mengganjal di antara dulur-dulur Maiyah khususnya di Sanggar Kedirian, mengenai Maiyah yang tidak membentuk sebuah identitas tertentu, ormas, lembaga, yayasan atau bentukan-bentukan lain yang kita kenal selama ini. Karena dianggap bentuk padatan semacam itu akan membuat lebih jelas arah tujuannya dan lebih teroganisir. Maiyah meniti kesabaran untuk tidak tergoda memadatkan dirinya menjadi suatu identitas tertentu. Dinamika yang berjalan sejauh ini mengantarkan Maiyah memfokuskan diri sebagai Majelis Ilmu dengan metode Sinau Bareng, yang berfokus pada upaya-upaya membangun manusia Maiyah yang berilmu, bermartabat dan bermanfaat. Maka setiap unsur dalam jamaah adalah unsur pembentuk yang sama penting menurut peran masing-masing, terutama di dalam membangun kediriannya sendiri. Sehingga dalam hal ini, subjek utamanya adalah manusianya sendiri bukan eksistensi wadag yang diagungkan.

Sanggar Kedirian melangkah pada suatu kesadaran mengenai organisme. Ciri utama dari organisme adalah keikutsertaan setiap individu secara organik untuk berperan di dalam penataan, pengorganisasian dan pengelolaan, sesuai dengan potensi diri masing-masing. Sewajarnya organ tubuh manusia, yang mana setiap bagiannya bekerja dengan sendiri. Hal ini berlaku kepada hal apapun dalam kehidupan. Sehingga apakah kesanggupan untuk berani (wani) menjadi diri sendiri, merupakan proses pencapaian yang mewujud (ndadi) itu sendiri?

Continue reading Wani Ndadi

Njawani Jowo

Pambuko Sanggar Kedirian 29 Juni 2018


Konon situasi tata kehidupan orang Jawa sebelum datangnya agama Hindu, Budha dan Islam, sudah pada tingkat numinous, dimana orang Jawa dengan roso yang dirasakan sudah meyakini adanya Yang Maha Kuasa (Gusti Kang Murbeng Dumadi) yang lebih besar dan tinggi yang tidak bisa dijangkau dan dikuasai manusia. Sehingga dengan kemampuan penghayatan falsafah hidup yang lahir pada waktu itu, Jawa sudah mempunyai konsep tatanan kehidupan. Jawa sudah memiliki budaya dalam berbagai bidang mulai pertanian, perniagaan, kesenian, sosial, politik, arsitektur, dan banyak bidang lainnya. Juga nilai-nilai hidup saling mencintai, menyayangi, saling menghormati antar sesama makhluk hidup. Jawa mengajarkan bagaimana menghormati yang tua, baik secara lisan bahasa maupun perilaku. 


Dalam catatan sejarah, mengapa Islam yang dibawa oleh para pedagang lebih dari 800 tahun tidak mengalami perkembangan di tanah Jawa? Namun justru mengalami perkembangan pesat setelah kemudian Islam dibawa oleh Walisongo? Hanya butuh 40 tahun Islam sudah sangat pesat di tanah Jawa. Adakah penyelarasan nilai-nilai ajaran Islam yang dibawa Walisongo dengan kebudayaan Jawa? Lantas kenapa yang berkembang saat ini justru Budaya Jawa dianggap bertentangan dengan ajaran Islam? Lalu hikmah apa Allah menciptakan kita untuk menjadi orang Jawa?

Bukankah nilai-nilai Jawa yang mengajarkan kita bagaimana bermasyarakat yang njowo (mengerti, paham dan tahu) namun seiring perkembangan jaman mengalami degradasi oleh orang-orang Jawa sendiri. Sehingga orang Jawa kehilangan katakternya sebagai orang jowo yang njowo, kehilangan kejawanannya. Banyak orang Jawa ora njowoakeh wong jowo ora njowoni. Bukankah kebangkitan karakter bangsa dimulai dari manusianya? Dan bagaimana kebangkitan karakter manusia akan terjadi jika manusia tidak tahu siapa dirinya?

Sanggar Kedirian dalam forum sinau bareng mencoba menggali dan memahami kembali khasanah Jawa sebagai pembelajaran mengenai Jawa. Mengajak bersama-sama Njawani Jowo yang bertepatan dengan momentum halal bi halal pada 29 Juni 2018, Jumat malam Sabtu Legi di GNI Kota Kediri, pukul 20.00 WIB.

Insyaallah Ustadz Bustanul Arifin sebagai pagar keilmuan akan Istiqomah membersamai diskusi santai kita. Semoga KAnjengKUStik sehat selalu dan bisa menyegarkan suasana kajian diskusi Sanggar Kedirian. Group sholawat Habsy Khidmatul Khuluq SMKN 1 Ngasem bersama Group Sholawat Nurrohmah Dander Kota Kediri insyaallah memberikan kemesraan dalam suasana halal bi halal.

Bismillahirrahmanirrahim.

Continue reading Njawani Jowo

Hoax Hoeeek

Pambuko Sanggar Kedirian 25 Mei 2018


Hoax ibarat sebuah makanan atau minuman yang bila dimasukkan mulut ditelan masuk ke perut bakal bikin penyakit. Maka seyogyanya hoax mesti kita muntahkan, mesti kita buang saat dimulut, yang dalam tangkapan telinga orang Jawa menjadi “hoeeek”.

Hoax yang deras menyerang kita berupa informasi-informasi palsu yang diolah menjadi sebuah kebenaran.

Sebagaimana lidah yang memberi informasi perasa sebuah sesuatu yang masuk ke mulut, maka kita harus memperpeka perasa kita terhadap sebuah hoax. Agar tidak tertelan dalam perut kehidupan kita sehingga mempengaruhi pola pikir.

Bulan Ramadhan mengajak kita untuk selalu menahan diri, mengajak kita lebih jernih memilah dan memilih sesuatu untuk kita masukkan ke dalam tubuh kita. Hoax pun harus kita tahan agar tidak sembarangan masuk ke tubuh kita. Sebagaimana kita berpuasa, menahan diri menerima hoax atau berbuat hoax.

Mari melingkar bersama membangun rasa kepekaan memahami hoax untuk kita hoeeek-an dalam rutinan Sanggar Kedirian:

Hari: Jumat malam Sabtu Legi, 25 Mei 2018.

Jam: 16.00 WIB.

Lokasi: Gedung GNI Kota Kediri.

Rutinan diawali buka bersama, dilanjutkan Sholat Jamaah Magrib, Isya’ dan Tarawih.

Continue reading Hoax Hoeeek

Wasiat Nabi Saw Tentang Wanita

 



•┈◎❅❀( *Edisi Hari Kartini* )❀❅◎┈•
Sabtu, 21 April 2018 / 5 Sya’ban 1439 H.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال،قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهُ، وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْئٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا. (رواه البخارى ومسلم)

Artinya:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa salam bersabda : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada wanita.” (HR. Imam Bukhari no. 5185, kitab an-Nikaah; dan Imam Muslim no. 60, kitab ar-Radhaa’, II/1091)

Pelajaran yang terdapat pada hadits di atas:

1. Diantara tanda orang yang beriman (percaya) kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hari akhir adalah orang yang tidak menggangu tetangganya dan bisa berbuat baik pada istrinya, sebagai pemimpin, pembimbing, ngayomi dan ngayemi sehingga ia bisa terus menjadi istri yang shalihah.
2. Hadits di atas berisi anjuran agar berlemah lembut untuk melunakkan hati wanita yang cenderung bengkok (bersikap kurang baik).
3. Hadits di atas juga berisi tentang bagaimana cara memimpin wanita, yaitu dengan cara memaafkan mereka dan bersabar terhadap kebengkokan mereka.
4. Dan siapa yang ingin meluruskan mereka, berarti mengambil manfaat (adanya) mereka. Karena setiap manusia pastilah membutuhkan wanita; ia merasa tenteram kepadanya dan menjadikannya sebagai penopang kehidupannya.
5. Seolah-olah beliau SAW. mengatakan: “Mengambil manfaat mereka tidak akan tercapai kecuali dengan bersabar terhadapnya.”

Tema hadits yang berkaitan dengan ayat Al-Qur’an:

1. Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan istri sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah yang harus dijaga. Ia adalah salah satu nikmat-Nya yang wajib disyukuri, sebagaimana yang diperintahkan-Nya;

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا … ۞

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,…” (QS. Ar-Ruum/30: 21)

2. Bertutur kata dengan baiklah kalian kepada mereka (istrimu), dan berlakulah dengan baik dalam semua perbuatan dan penampilan kalian terhadap mereka dalam batas yang sesuai dengan kemampuan kalian;

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۞

“Dan bergaullah dengan mereka secara baik.” (QS. An-Nisa’/4: 19)

*والله اعلم بالصواب…*

*Semoga manfaat*

[Bustanul 'Arifin]

Continue reading Wasiat Nabi Saw Tentang Wanita

Sikapi dengan Kuat, Temukan Prasangka Tepat

 Reportase Sanggar Kedirian 20 April 2018 

Membangun diri menjadi pribadi yang kuat menjadi motivasi dulur-dulur kembali berkumpul dalam diskusi rutinan Sanggar Kedirian. Dengan mengangkat tema besar “Ajeg Jejeg” diharapkan semua dulur-dulur Sanggar Kedirian memiliki pondasi yang kuat dalam menjalani kehidupan, serta konsisten menebar kebaikan dan kebahagiaan.

Sebelum diskusi dimulai, dilaksanakan tadarusan yang dalam kesempatan itu dibacakan surat Ali Imron. Selain itu, di tengah-tengah kegiatan berlangsung, dilantunkan Sholawat sebagai wujud kecintaan dan kerinduan terhadap Allah dan Rasulullah.


Karpet biru dan segelas kopi menemani kami melingkar bersama menemukan nilai. Mas Hartono membuka diskusi memancing dulur-dulur untuk membahas tema ajeg jejeg.

Mas Ibrahim menyampaikan bagaimana ide tema ajeg jejeg ini muncul, dari mas Gatot yang memiliki pemikiran bahwa dalam hidup ini kita harus waspada atas prasangka atas diri sendiri, kepada orang lain dan kepada sesuatu.


Dikembangkan pada unen-unen “Urip kudu tansah eling lan waspodo” yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut mas Andri, “Ibarat silat kita harus menyiapkan kuda-kuda untuk siap menghadapi serangan. Siap yang dimaksud ialah ketepatan menyikapi segala sesuatu dengan pas terhadap segala serangan informasi.”

Di kalangan dulur-dulur Sanggar Kedirian seringkali ada ungkapan, “Sing penting ajege lur.”Menurut mas Adnan, ” Ajeg adalah sering atau Istiqomah. Jejeg ialah sebuah penekanan, sebuah pemahaman bagaimana dengan sebuah prinsip kita menyikapinya.”


Dalam diskusi tersebut, Pak Bustanul ‘Arifin, selaku pauger keilmuan, menguraikan garis tema yang didiskusikan. Beliau menuturkan, “Ajeg jejeg berasal dari Bahasa Jawa “Jeg” yang artinya tidak pernah berubah dan tidak mudah goyah. Jadi kita dituntut selalu ajeg , agar nantinya kita tetap jejeg dalam menghadapi berbagai macam kondisi kehidupan ini.”

Pak Bus menambahkan, “Di tengah-tengah sesuatu yang salah harus selalu ditumbuhkan sesuatu yang benar. Saat kesalahan dilakukan secara bersama-sama dan terus-menerus maka bisa jadi dianggap suatu kebenaran. Maka sikap ajeg jejeg bisa membuat perubahan untuk mencari yang benar-benar benar.


Diskusi rutinan malam Sabtu Legi ini, digelar di pelataran Gedung GNI, Kota Kediri. Acara yang dimulai pukul 21.00 WIB ini dihadiri sekitar 25 orang dari Kediri dan sekitarnya.

Di sesi terakhir, acara dipuncaki dengan Mahallul Qiyam dan melantunkan Sholawat. Diskusi ditutup dengan bersalam-salaman antar seluruh dulur-dulur Sanggar Kedirian sebagai wujud tali kasih dan pasuduluran. [Alwim]

Continue reading Sikapi dengan Kuat, Temukan Prasangka Tepat

Ajeg Jejeg

Pambuko Sanggar Kedirian 20 April 2018


Kedaulatan seseorang sangat berpengaruh terhadap kewaspadaannya. Harusnya ajeg jejeg untuk menambah kekuatan kewaspadaanya. Ajeg jejeg sebagaimana membiasakan diri untuk bersikap kuda-kuda. Dimana orang tidak mudah terombang-ambing dengan informasi yang ada. "Urip kudu tansah eling lan waspodo" salah satu terjemahan bisa menjadi Dzikr dan Taqwa. Waspada berbeda dengan curiga. Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup. Berposisi di tengah-tengah terhadap informasi yang berkembang misalnya. "Asa antakrohu syaian wahuwa khoirun lakum wa 'asa an tuhibbu syaian wahuwa syarrun lakum". Terkadang sesuatu yang buruk menurut kita adalah yang baik dan bisa jadi sesuatu yang menurut kita jelek ternyata baik. Ajeg jejeg menjadi modal untuk waspada terhadap apa-apa yang dihadirkan Allah.
"Undzur ma qola wala tandzur man qola".Lihatlah apa yang diucapkan bukan siapa yang mengucapkan. Mau tidak mau sikap subyektif kita masih terpengaruh dengan ketokohan seseorang sehingga lupa dan tidak waspada terhadap apa yang diucapkannya. Ucapan pun akan ditelan mentah-mentah tanpa ada tabayyun terlebih dahulu. Ketika sudah sinkron dengan orang yang kita anggap tokoh di situlah seharusnya lebih waspada. Jangan-jangan kita hanya menjadi duplikatnya dan tidak berdaulat atas diri. Ketika menganggap orang yang tidak sesuai dengan kita di situlah kita juga harus waspada, jangan-jangan kita malah mendapat pelajaran yang agung darinya.
Mari sinau bareng dengan tema "Ajeg Jejeg" dalam rutinan sanggar Kedirian di musholla GNI Kota Kediri pada hari Jumat malam Sabtu Legi, 20 April 2018, pukul 20.00 WIB. Bersama Kang Bustanul 'Arifin (pauger keilmuan) dan Kanjeng Kustik. Semoga Alloh memberikan kita semua kekuatan untuk Ajeg Jejeg.

Continue reading Ajeg Jejeg