Istiqomah Menuju Ghoyah Sejati

 


Reportase Let’s G(h)oyah, rutinan Sanggar Kedirian 5 April 2019

Kelak, malam Sabtu Legi Bulan April akan dikenang sebagai malam bersejarah bagi Sanggar Kedirian. Sebab pada malam itu… Nanti di akhir reportase saja penjelasannya. Ini namanya teknik foreshadowing, kalau tidak saya buat begitu pasti reportase yang teramat panjang ini akan membosankan. Jadi, nikmati saja. Sementara saya akan melanjutkan reportase lagi. Setelah protokoler pembukaan tunai dilaksanakan, sedulur-sedulur dikelompokkan; masing-masing kelompok beranggotakan enam-tujuh orang, diberi lembaran kertas yang berisi pertanyaan seputar tema Lets Ghoyah. .

“Sesungguhnya yang kita lakukan sehari-hari hanyalah sebatas washilah,” kata moderator, Kang Adnan, memantik diskusi. Kemudian disambung Lik Hartono, “Cobalah pakai teori 5W1H untuk mencari ghoyahmu.”

Kelompok Dua mendapatkan kesempatan pertama untuk menjawab pertanyaan pertama yang membicarakan soal pekerjaan dunia dan akhirat. Menurut Kelompok Dua, apapun yang kita lakukan saat ini adalah pekerjaan dunia. Setelah mati baru kita melakukan pekerjaan akhirat.

Jawaban tersebut disanggah oleh kelompok lain. Pekerjaan bisa bernilai dunia atau akhirat tergantung niatnya. Jika setiap pekerjaan berusaha untuk diakhiratkan-dicari kebaikan, manfaat dan kemaslahatannya-otomatis pekerjaan tersebut bernilai akhirat. Ada juga yang menjawab bahwa akhirat adalah perlambang konsekuensi. Siapa yang berbuat baik maka akan mendapat balasan kebaikan begitu juga sebaliknya.

Dari semua jawaban tersebut, manakah yang paling benar? Nanti dulu. Masih banyak pertanyaan dan tanggapan lain yang belum saya catat.

Pertanyaan kedua menyoal puncak pencapaian hidup. Kelompok Empat berpendapat bahwa puncak pencapaian hidup ialah bermanfaat bagi orang lain. 

“Kurang tepat,” sahut kelompok lain, “puncaknya kebahagiaan”.

“Fase klimaks dalam menggapai kepuasan adalah pencapaian hidup paling paripurna,” sanggah kelompok lainnya. 

“Bukan semua itu,” jawab kelompok paling ujung. Puncak pencapaian hidup yang paling haqueque ialah mendapatkan ijazah akademik.

Hmm, entahlah, realita hidup macam apa yang mereka temui sehingga membuat jawaban seabsurd itu. Yang jelas, selama saya bergabung dalam Sanggar Kedirian, baru kali itu forum sinau bareng terasa sangat interaktif. 

Beranjak ke pertanyaan ketiga soal respon terhadap unen-unen Arab yang membicarakan bekerja keras seolah-olah akan hidup selamanya dan beribadah dengan giat seakan esok akan mati. Kelompok Satu menjadikannya sebagai motivator hidup, Kelompok Empat mentadabburinya sebagai keseimbangan dalam berperilaku, Kelompok Lima menggarisbawahi pesan saat bekerja agar selalu ingat mati-sehingga bekerjanya menjadi lebih serius, jujur dan semangat. Sementara Kelompok Dua mengelaborasi semua jawaban tersebut menjadi begini: hal itu adalah motivasi agar kita bekerja dan beribadah dengan bersungguh-sungguh sehingga tercipta keseimbangan dunia dan akhirat. Super sekali kelompok ini.

Lantas bagaimana tanggapan anda soal tagline Sanggar Kedirian “perjalanan Diri mengenal Diri”? Kurang lebih seperti itu redaksi pertanyaan keempat. Sebagian besar menganggap bahwa “perjalanan Diri” merupakan washilah dan “mengenal Diri” adalah ghoyah. Sementara sebagian kecil sekali menganggap hal itu tidak lain hanyalah jargon komunitas di era medsos. 

Yang disebutkan terakhir salah satu pengikutnya adalah saya sendiri. Sebab saya bukan anggota Kelompok Lima yang meyakini efek perjalanan panjang suatu pekerjaan bisa menjadi parameter pekerjaan tersebut mempunyai nilai ghoyah. Kalau bernafas, misalnya, pekerjaan yang cukup dengan sekali helaan saja, apakah tidak bisa dikategorikan sebagai pekerjaan yang ber-ghoyah?

Inti dari pertanyaan kelima menyoroti hal itu: parameter ghoyah. Untungnya kelompok lain menengahi perbedaan ini dengan mengajukan terminologi istiqomah. Artinya setiap pekerjaan yang dilakukan secara istiqomah Insya Allah akan menuju ghoyah yang sejati. 

Lanjut ke pertanyaan nomor enam. Washilah dulu atau ghoyah dulu yang dijadikan pertimbangan untuk memulai pekerjaan? Kelompok Dua berpendapat washilah dulu sementara kelompok lain menganggap ghoyah dulu.

Sebenarnya pertanyaan tersebut tak ubahnya pertanyaan kuno yang menanyakan lebih dulu telur atau ayam. Namun masih saja dipertanyakan. Untungnya sedulur-sedulur Sanggar Kedirian melihat adanya keterkaitan dengan pertanyaan ketujuh. Jika tidak, mungkin debat kusir ala filsuf Yunani tidak terhindarkan lagi.

Begini pertanyaan ketujuh: mungkinkah ghoyah tanpa washilah? Saya rasa tak mungkin. Sebab ilmu ladunni sekalipun butuh washilah, entah lewat nirakati sendiri atau ditirakati mbah-mbahane. Beda cerita kalau Allah ikut campur. Tidak ada yang tidak mungkin. 

Menurut Pak Bustanul Arifin, Kanjeng Nabi pernah bersedih karena tidak kunjung mendapat wahyu. Kemudian Allah melalui Malaikat Jibril menurunkan surat ad-Dhuha sebagai pelipurnya. Lantas apa korelasinya dengan pembahasan washilah-ghoyah? Carilah sendiri! Jika tidak menemukan minimal sudah berusaha mencari. Nah, pencarian itulah washilah. 

Bekerja keras dan beribadah tekun juga termasuk washilah. Sebab kehidupan di dunia dan di akhirat itu saling berhubungan satu sama lain. Tujuan akhir dari pekerjaan dan peribadatan itu yang disebut ghoyah.

Bahasa quotable-nya begini: ghoyah adalah puncak dari segala upaya kita, sementara washilah adalah perjalanan untuk mencapainya. Jadi, washilah dan ghoyah tidak terpisahkan. Setiap wasilah pasti ada ghoyah begitu juga sebaliknya.

Pak Bustanul Arifin juga mengelaborasi washilah-ghoyah dengan potensi-titik optimasi makhluk Allah. Setiap orang diberikan potensi yang sama, hanya pengembangannya saja yang berbeda. Dari situ membuat titik optimasi setiap orang berbeda-beda. Titik optimasi itulah yang disebut ghoyah, begitu closing statement dari Pak Bustanul Arifin.

Acarapun diakhiri dengan Shohibu Baiti dan Sholawat Indal Qiyam, sebagai bentuk permohonan Sanggar Kedirian agar kelak di tempat rutinan yang baru masih terus beristiqomah gondelan klambine Kanjeng Nabi. Amin.

Continue reading Istiqomah Menuju Ghoyah Sejati

Let’s G(h)oyah

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian, Malam Sabtu Legi 5 April 2019


Dalam hidup kita tak akan lepas dari yang namanya pilihan. Jika tersedia pilihan antara A dan B, kita masih diseret untuk memilih A atau B. Meskipun sedianya ada banyak kemungkinan-kemungkinan pilihan dalam kondisi hidup yang penuh dengan polarisasi ini. Dalam pertunjukan ritual pesta demokrasi lima tahunan ini, kita yang saat ini sedang berada di tengahnya atau mungkin justru terlibat di dalamnya merupakan gambaran fakta kehidupan manusia saat ini.


ANGKA ATAU NILAI?
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hampir tidak pernah lepas dari yang dinamakan wasilah (cara) dengan berbagai bentuk variabelnya.  Disadari atau tidak, banyak orang di zaman sekarang ini yang menukar antara keduanya. Menjadikan yang ghoyah (tujuan) sebagai wasilah dan sebaliknya, menjadikan yang wasilah sebagai ghoyah. Fakta sebagian masyarakat saat ini, akan kita temukan banyak persepsi bahwa untuk bisa menikmati kehidupan ini caranya adalah harus menjadi orang kaya, memiliki uang yang banyak, memiliki mobil, smartphone canggih, rumah mewah, mengetahui segala informasi ter-update dan lain sebagainya. Namun justru semuanya itu dianggap seolah-olah ghoyah dan bukan lagi sekedar wasilah. Karena menganggap dengan jalan itulah kepuasan hidup akan tercapai.

Hal lain yang lebih rancu adalah fenomena yang dilakukan oleh sebagian ormas, partai atau bentuk padatan-padatan lain yang kian hari kian memamerkan “kepentingan parsialnya” sendiri. Dengan cara mendayagunakan pengikutnya, kemudian membungkusnya dengan bahasa-bahasa yang sangat klise “bentuk loyalitas”, “takzim”, “manut grubyug”“opo jare”“sami’na wa atha’na” yang seolah-olah semua ini adalah ghoyah. Melalui sistem keanggotaan yang mengikat justru dimanfaatkan sebagai “kerangkeng” untuk membelenggu kedaulatan para pengikutnya. Seorang cendekia dan ilmuwan muslim dari Andalusia yang hidup pada masa Kekaisaran Abbasiyah, bernama Ibnu Rusyd pernah berkata, “Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah yang batil dengan agama”. Atas dasar fakta belakangan ini, sepertinya pesan Ibnu Rusyd yang juga seorang hakim dan seorang fisikawan ini sangat relevan dan memang bisa dikatakan sedang menimpa negeri ini. Sehingga tidak heran ketika pada masa-masa menjelang pemilu ataupun pilkada banyak para tokoh politik melakukan “akrobatik wasilah” dengan cara bersilaturahmi kepada para ulama, yang tentunya untuk mencari simpati dan dukungan dari sang ulama, sekaligus sebagai perlambang “restu” dari sang ulama dan ini merupakan senjata ampuh untuk menarik simpati massa.

Bukankah salah satu ciri para ulama paham mengenai sirr (kerahasiaan) yang harus benar-benar dijaga? Karena atas riyadhoh-nya jiwa dan nafsunya sudah terlatih untuk dapat melawan kecenderungan-kecenderungan yang berdampak buruk, terlebih sebuah strategi kebijakan politik karena merupakan kerawanan bagi perpecahan umat. Bukanlah sebuah strategi namanya, kalau semua orang tahu apa alasan dibalik semua strateginya sang ulama? Ataukah mungkin ini justru strategi dari wasilah sang Ulama itu sendiri?


Perjalanan Diri

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna penciptannya. Dengan segala kelengkapan komponen dalam dirinya, baik hardware maupun software, manusia memiliki kebebasan untuk memilih wasilah dengan tetap berada pada level ahsanu taqwiim ataukah justru jatuh terperosok dalam asfala saafiliin. Lantas siapa sebenarnya yang pantas menentukan standar hidup manusia saat ini?

Begitu pula dengan pengaruh kecanggihan teknologi informasi yang kian membabi-buta membuat kita harus “melek informasi”, berusaha untuk tetap berpijak pada kesadaran ilmu. Sehingga bukan sekedar pemahaman linier tentang segala informasi apa saja yang kita ketahui melainkan juga kesanggupan untuk memiliki kepekaan bahwa tidak semua informasi harus kita ketahui.

Hingga tak pelak, semakin hari permasalahan hidup semakin menjadi. Kiranya kita harus butuh untuk selalu mengeja konteks. Jangan hanya fasih membaca teks. Karena dalam dunia kehidupan, semuanya serba kompleks. Yang mengharuskan seseorang untuk melakukan gerak refleks. Sehingga tema kali ini, akan mengingatkan kita kembali tentang apa tujuan manusia diciptakan dan bagaimana fitrah manusia diciptakan. Dimanakah ghoyah kehidupan ini dapat kita temukan?

Permasalahan hidup memang harus ada agar tercipta penyelesaian. Jika hidup mudah-mudah saja, lantas mengapa Tuhan dengan repotnya menjadikan manusia sebagai khalifah di Bumi? Wallahu A’lam. Tentunya Tuhan lebih tahu. Tapi, yang pasti adalah kebenaran selalu dicari dimanapun dan kapanpun.

(Redaksi Sanggar Kedirian)

Continue reading Let’s G(h)oyah