Belajar Skala Prioritas untuk Bedakan Alat dan Tujuan

Reportase Sinau Bareng CNKK di Taman Tirtayasa, 18 Agustus 2018


Sinau Bareng kali ini dalam rangka Milad SMK Al-Huda yang ke-29. Bertempat di Tirtayasa Park, acara yang biasanya dimulai pukul 21.00 WIB, kali ini maju satu jam lebih awal.

Mbah Nun mengajak jamaah mempelajari afdholiyatil asya’, skala prioritas. Agar bisa membedakan antara alat dengan tujuan, washilah-ghoyah. Diperluas lagi bisa membedakan antara wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.


“Hidup ini maraton atau sprint?” Tanya Mbah Nun kepada jamaah. Kemudian beliau menjelaskan bahwa dunia ini ibarat perlombaan lari maraton sementara finishnya yaitu di akhirat. Dari situ yang bisa digarisbawahi ialah adanya jalan panjang yang harus ditempuh, tak perlu tergesa-gesa, lebih mengutamakan keteraturan dalam mengambil “nafas” sehingga sukses mencapai akhirat. Dalam bahasa al-Quran disebutkan, Wabtaghi fii maa ataaka daral akhirah, wa laa tansa nashiibaka minaddunya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.

Acara kemudian break sejenak dilanjutkan dengan penawaran kepada jamaah untuk maju, bernyanyi bersama Kiai Kanjeng. Seorang jamaah membawakan syair karya Sosrokartono, yang dipopulerkan oleh Sujiwo Tejo, Sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji… Pakdhe-Pakdhe Kiai Kanjeng yang meresponnya secara spontan ndilalah langsung kllik, selaras dengan lagu tersebut. Para jamaah yang hadir pun ikut bernyanyi bersama.


Paska jeda sejenak, jamaah diajak mendalami sekaligus meluaskan pandangan soal skala prioritas dalam kehidupan. Misal saat membahas skala prioritas dalam pendidikan: yang paling utama dinas pendidikan atau sekolahannya atau muridnya? Ya jelas muridnya. Artinya, demi nama baik sekolah ataupun demi kepentingan dinas pendidikan setempat, tidak boleh mengorbankan murid! Semoga kelak salah satu siswa SMK Al-Huda ada yang menjadi pemimpin, begitu harapan Mbah Nun. “Namun jangan lupa harus tetap rendah hati. (Menerapkan sikap) akhlaqul karimah“.


Sebelum mengakhiri acara sinau bareng, Mbah Nun berpesan agar memfokuskan hidup hanya kepada Allah dan Hubburrasul. Jangan terlalu berharap kepada pemerintah dan ulama. Sekarang ini orang tidak tahu perbedaan antara negara dengan pemerintah.Negara milik rakyat. Pemerintah dipasrahi untuk mengurusnya. Negara tetap jalan meski pemerintahnya tidak jalan. Negara melantik pemerintah. Presiden bukan pemimpin negara sekaligus pemimpin pemerintahan seperti yang ada sekarang. Pemerintah bersifat sementara dan periodik tapi negara berlaku seterusnya. Di situ ada rakyat, ada negara yang berdaulat.

Juga tidak tahu perbedaan antara ulama dengan fuqoha. Ulama itu universitas; orang yang dapat melakukan banyak hal; tahu permasalahan dan solusinya; bisa disambati orang karena tahu hatinya orang yang sedang susah dan senang. Sedangkan fuqoha itu salah satu fakultasnya. Fuqoha ialah orang yang hanya mengerti hukum Islam. Artinya, orang yang ahli hukum Islam tanpa tahu bidang lain belum bisa disebut ulama.
Continue reading Belajar Skala Prioritas untuk Bedakan Alat dan Tujuan

Wani Ndadi

Pambuko Sanggar Kedirian 3 Agustus 2018

Barangkali masih ada pikiran yang mengganjal di antara dulur-dulur Maiyah khususnya di Sanggar Kedirian, mengenai Maiyah yang tidak membentuk sebuah identitas tertentu, ormas, lembaga, yayasan atau bentukan-bentukan lain yang kita kenal selama ini. Karena dianggap bentuk padatan semacam itu akan membuat lebih jelas arah tujuannya dan lebih teroganisir. Maiyah meniti kesabaran untuk tidak tergoda memadatkan dirinya menjadi suatu identitas tertentu. Dinamika yang berjalan sejauh ini mengantarkan Maiyah memfokuskan diri sebagai Majelis Ilmu dengan metode Sinau Bareng, yang berfokus pada upaya-upaya membangun manusia Maiyah yang berilmu, bermartabat dan bermanfaat. Maka setiap unsur dalam jamaah adalah unsur pembentuk yang sama penting menurut peran masing-masing, terutama di dalam membangun kediriannya sendiri. Sehingga dalam hal ini, subjek utamanya adalah manusianya sendiri bukan eksistensi wadag yang diagungkan.

Sanggar Kedirian melangkah pada suatu kesadaran mengenai organisme. Ciri utama dari organisme adalah keikutsertaan setiap individu secara organik untuk berperan di dalam penataan, pengorganisasian dan pengelolaan, sesuai dengan potensi diri masing-masing. Sewajarnya organ tubuh manusia, yang mana setiap bagiannya bekerja dengan sendiri. Hal ini berlaku kepada hal apapun dalam kehidupan. Sehingga apakah kesanggupan untuk berani (wani) menjadi diri sendiri, merupakan proses pencapaian yang mewujud (ndadi) itu sendiri?

Continue reading Wani Ndadi