Menakar Kembali Ketulusan Diri

Reportase Sanggar Kedirian 25 Januari 2019 

Di tempat yang sama dengan rutinan malam Sabtu Legi yang lalu, di gedung GNI, hari Jumat, 25 Januari 2019, pukul 21.03, sinau bareng dimulai dengan nderes Al-Quran oleh Mas Fajar. Tak hanya tetesan kalam ilahi, tetesan gerimis tipis pun ikut serta menyambut para jamaah di malam itu. Kanjeng Kustik juga tak ingin kalah. Mas Andri, vokalis Kanjeng Kustik, sedikit memberi sambutan kepada jamaah yang mulai berdatangan kemudian langsung disaut petikan gitar akustik dan gesekan biola membawakan lagu Lubang di Hati dari Letto.

Malam yang semakin dingin membuat teman-teman jamaah membutuhkan kehangatan. Seduhan kopi dan teh menemani perkenalan dari para jamaah yang baru pertama kali hadir di rutinan. Tak menunggu waktu lama, melihat menggebu-gebunya para jamaah yang sudah ingin sinau, Mas Habib selaku moderator langsung mempersilakan teman-teman jamaah yang ingin urun rembug.

Kesempatan inipun tak disia-siakan oleh Mas Tri. Dia mengungkapkan bahwa nanting tulus bisa dicontohkan pada zaman dahulu ketika zaman penjajahan. Ada nilai-nilai ketulusan ketika para pejuang berperang melawan penindasan. Berbeda dengan zaman sekarang, orang mengaku berjuang padahal tindakannya malah sebaliknya. Contohnya dalam hal politik. Dahulu, seorang pemimpin ialah orang yang paling tulus. Pemimpin ialah orang yang paling tidak butuh pencitraan. Sekarang pencitraan dimana-mana. Minim ketulusan bahkan bisa dikatakan tidak ada.”

Di sisi yang berbeda, Mas Andri juga ikut urun,” Jika ingin presisi, maka buatlah jarak”. Dalam nanting memang dibutuhkan jarak. Terlalu dekat dengan yang ditanting malah akan mempersulit nanting. Urun rembug dari jamaah tak terbendung, silih berganti hingga iringan musik Kanjeng Kustikpun juga ikut meramaikan jalannya sinau bareng.

Tibalah Pak Bus seperti biasa memberikan pagar keilmuan dalam sinau bareng ini. Seraya memberikan shodaqoh senyum kepada para jamaah, beliau mengungkapkan, “Orang Jawa itu setiap tindakannya dilakukan dengan cara alus. Alon-alon seng penting kelakon merupakan ciri-cirinya. Tindakan dilakukan dengan hati-hati agar tak mengurangi niat ketulusan.

Ketika seseorang melakukan sesuatu, ada niat atau krenteg untuk melakukan. Tulus muncul karena krenteg yang kuat. Setiap melakukan apapun diusahakan dengan sungguh-sungguh. Cari efek sepositif mungkin. Niat itu untuk nanting ketulusan kita. Terkadang niatnya baik tapi ketika sudah dijalankan bisa jadi tujuannya berbeda dengan niat awal. Maka tugas akal dan hati ialah berulang-ulang nanting kembali niatnya.”

Sinau bareng kian malam kian terasa geregetnya. Suasana diskusi semakin gayeng hingga teman-teman jamaah tak sadar bahwa sinau bareng tak bisa lama-lama berlangsung. Sebelum diakhiri dengan sholawat dan doa, Pak Bus sedikit memberikan closing statement tentang nanting tulus, “Jika tak ada nanting, maka ketulusan tidak pernah kita dapatkan. Nanting itu ranahnya jasmani dan rohani. Sedangkang tulus itu ranahnya adalah rohani.”

Continue reading Menakar Kembali Ketulusan Diri

Nanthing Tulus

Pambuko Sanggar Kedirian 25 Januari 2019


Allah ta’ala berfirman,


وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

DEFORMASI INFORMASI
Memasuki hiruk-pikuknya pilpres 2019 ini, kita harus mempunyai kesanggupan untuk menjadi cah angon, sebagimana tema Sanggar Kedirian bulan lalu, selalu mempunyai naluri keseimbangan apapun mongso-nya. Karena akan banyak kita temukan suguhan-suguhan kedzoliman informasi. Kode etik jurnalistik dan media seakan begitu mudah dilanggar demi kepentingan pengendalinya. Padahal media memiliki daya peran yang sangat krusial dalam mengedukasi atau membentuk opini dalam masyarakat. Tolok ukur apakah yang membuat media massa melakukan hal demikian? Lebih dari itu, bahkan media menjadi alat mengada-adakan citra diri seseorang, sehingga dapatkah dikatakan bahwa pencitraan itu adalah penipuan? Niat kesungguhan kepada siapa yang mereka sematkan dalam hatinya? Mungkinkah ternyata kita juga menjadi bagian dari mereka sehari-hari? Lantas laba apa yang kita dan mereka dapatkan? Ataukah justru membuat tersesat ke ruang-ruang hampa kepalsuan.

MENAGIH DIRI
Namun prinsipil Kedirian mengajak kita untuk lebih melakukan penyadaran diri kedalam. Yang bisa dilakukan adalah berusaha menyikapi segala sesuatunya secara objektif. Objektifitas dapat dipahami sebagai sebuah gambaran sikap kejujuran, upaya bebas dari pengaruh pendapat atau kepentingan pribadi atau golongan dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan. Sehingga keakuratan dalam menakar segala sesuatu mestinya didasari oleh jangkauan kemampuan diri yang jelas, guna mempresisikan diri dimanapun pada posisi yang tepat dan tidak menimbulkan kekecewaan–kekecewaan dalam hidup bebrayanan. Dalam berkehidupan sehari-hari objektifitas sering dikaitkan dengan keluasan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Apakah itu menjadi satu-satunya acuan? Ketulusan yang bagaimana yang patut ditanting? Apa yang menjadi parameter kesungguhan niat kita dalam menutupi lubang-lubang ketidaktulusan hati agar kita tidak terjungkal di lubang-lubang kerugian?

Dan marilah kita duduk bersama, melingkar dalam majelis egaliter Sanggar Kedirian. Dimana kita bisa sinau bareng antara satu dengan yang lain dengan sangat terbuka, keterbukaan dalam sinau bareng ini, justru diharapkan dapat mengajarkan tentang tanggung jawab bahwa apa yang akan disampaikan adalah muatan ilmu atau informasi yang memiliki landasan sumber data yang bisa dipertanggungjawabkan validitasnya, bukan hanya asal bicara. Bahkan guyonan pun mampu dikontrol pada batas proporsi, ritme, takaran serta dosis yang tepat. Kata orang Jawa, “Empan papan lan ngerti kahanan”, sehingga tidak kelegen maupun kengidulen.


Continue reading Nanthing Tulus