Reportase Sanggar Kedirian 27 Oktober 2017
Hari Jumat, malam Sabtu Legi, 27 Oktober 2017. Atas dasar cinta dan semangat paseduluran, rutinan Sanggar Kedirian (SK) dilaksanakan kembali. Berbeda dengan rutinan biasanya yang berlokasi di emperan Gedung Nasional Indonesia (GNI), malam ini Sanggar Kedirian mengambil tempat di emperan musholla GNI. Karpet-karpet yang digelar merupakan wujud me-nyumangga-kan siapa saja yang hendak duduk bareng, sinau bareng, menyambung dengkul. Seperti biasa, acara diawali dengan pembacaan Alquran sebagai pambuka sekaligus bahan tadabbur seluruh jamaah. Kang Lingga, yang kebetulan dipasrahi memandu acara malam ini, memaparkan tema “Ngruwat Karep”. Sejenak kemudian, Kang Lingga menyerahkan mik kepada salah satu penggiat SK, Mbah Gatot, yang lebih akrab disapa “Kang Gareng”.
“Karep; kabeh menungsa nduwe karep,” ungkap Mbah Gatot mengawali. “Masalahnya, bagaimana kita bisa menyelaraskan, mengatasi karep tersebut. Semisal begini; ada seorang pengusaha ingin memarkir mobil. Ternyata, si tukang parkir adalah kanca SMP-nya. Karep yang punya mobil ya bayar parkir. Tapi, karep si tukang parkir -karena kanca dhewe– ya tidak usah. Atau sebaliknya, karep yang punya mobil tidak usah bayar. Karep si tukang parkir -karena kanca dhewe- ya mbok nilai parkirnya ditambahi. Nah, di sinilah sebenarnya bagaimana (penentuan) sikap kita dalam mengolah dan meng-ruwat karep tersebut.”
Secara serius, jamaah diajak menerawang dan terjun pada pikiran masalah yang sedang dikaji. Melihat banyaknya jamaah yang baru merapat di SK, Mbah Gatot spontan memaparkan bahwa di Sanggar Kedirian tidak ada guru dan tidak ada murid. Semua sinau bareng. Sebelum seluruh jamaah dipersilakan merespon Mbah Gatot, lagu “Hasbunallah” dari Kanjeng Kustik menjadi penyejuk dan penyeimbang suasana. Petikan senar, getaran seruling, rentetan not orgen, dan gesekan biola ikut serta memadukan cinta menjadi kesatuan nada.
“Tujuan dan karep ini sama apa tidak, ya?” Cak Har menyambung diskusi, memberikan rangsangan terkait karep, supaya arah keinginan, angan-angan, dst. bisa jelas nantinya.
Mik diserahkan kepada siapapun yang hendak urun rembuk, sekaligus memperkenalkan diri bagi dulur yang baru saja hadir. Bang Wahyu (Gundul, pen.) menyumbangkan suaranya, “Tujuan dan cita-cita ya sama. Jadi, tujuannya ke sana, arah cita-citanya ya ke sana; wis podo ae. Kalau ditanya cita-cita, saya ingin jadi TNI, meskipun gagal. Karep saya juga ke sana.”
Cak Adnan, yang baru saja hadir, mengejar Bang Wahyu, “Kira-kira yang membuat gagal itu (faktor) dari dalam diri atau dari luar?”
“Nah iku; saya dulu kurang dhuwur, Rek. Masiya ora dadi TNI, tapi nek jaket ae nduwe.”
Jawaban Bang Wahyu sontak disambut tawa para jamaah. Keceriaan yang tidak dibuat-buat semacam ini menambah kehangatan dalam ber-sedulur. Sebagaimana gojlokan dan poyokan yang bertebaran di sepanjang diskusi, celetukan-celetukan ringan menimbulkan gelak tawa spontan yang memeriahkan suasana.
‘Dhe Budi, (akrab disapa Makde Giren) memaparkan tentang ruwat, “Dadi ruwat itu ngapiki sing elek. Nek enek apa-apa ala, yuk digoleki apike. Jadi, selalu timbulkan sugesti positif.”
Secara bergantian, jamaah diserahi mik untuk memperkenalkan diri. Hal yang menarik saat diserahi mik adalah banyaknya jamaah yang mengenalkan diri sekaligus ikut urun rembug. Misalnya ada yang berpendapat, tujuan itu apa yang hendak ditempuh; jalan untuk mencapai tujuan itulah karep. Tujuan menjadi manusia adalah mati. Nah, bagaimana karep bisa menjadi bekal mati? Sungguh-sungguh atau tidak? Ada juga yang merespon Mbah Gatot mengenai guru. Guru tidak hanya di sekolah dan di kampus. Jadi, guru itu berguru pada siapa saja dan apa saja. Berguru pada alam, misalnya jika ada gempa bumi, kita bisa mempelajari kejadian tersebut.
“Manusia tujuannya mati. Nah, tujuan atau cita-cita tidak akan hadir kalau tidak ada karep.” kata Gus Faizin yang kebetulan hadir, membenarkan pendapat jamaah sebelumnya mengenai tujuan dan karep.
Malam ini, beberapa jamaah yang hadir, meskipun berdomisili di Kediri, sebenarnya berasal dari kota lain. Seperti Didin dari Blitar, keponakan Yai Muzzammil dari Sumenep, dan Latif dari Tuban. Usai sesi perkenalan diri, mik kembali diserahkan ke depan. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, Cak Adnan menjelaskan, “SK sengaja mengambil tema dari kejadian sehari-hari yang nantinya bisa memberikan sumbangsih untuk selanjutnya. Kalau bicara kejadian publik, data kita kurang. Lagipula, kalau urusan sekitar beres, pada akhirnya yang lain kok saya kira katut.”
Pukul 22.45, Kanjeng Kustik meng-cover lagu Iwan Fals “Seperti Matahari”; disusul dengan puisi Cak Har tentang ngruwat karep. Jamaah mendapatkan kesempatan rengeng-rengeng sejenak, sebelum kemudian melanjutkan diskusi lagi.
Beberapa jamaah menyadari memang sulit jika menuruti karepe dhewe. Salah satu cara sederhana adalah ngalah. Namun, sampai batas mana ngalah tersebut? Kang Andri mencoba menjawab, “Ngalah itu sama dengan ngejur atine dhewe. Memang agak berani kalau kita mengambil jalan ngalah. Di sana ada perang antar kepala dan hati, hingga nanti siapa yang mampu menang.”
Sementara itu, Kang Toma merumuskan definisi tema, “Ngruwat, ngrumangsani nek gawat. Karep, mekare nek ngarep. Nah, untuk menangani karep, saya tertarik dengan tulisan di belakang kaos Mas Andri: ‘Muhammad adalah energi’. Ini upaya kita untuk terus menyinergikan kekuatan.
Diskusi semakin gayeng saat tiba-tiba gerimis hadir di tengah-tengah acara. Kehangatan justru semakin bertambah karena kondisi tersebut; tubuh harus didekatkan, direkatkan, menuju emper musholla. Satu per satu karpet dilipat, tetapi acara tetap dilanjutkan.
Kang Mas Ibrahim memberikan argumen mengenai cita-cita dan karep. Cita-cita itu tujuan jangka panjang, karep itu perjuangan, berjuang untuk selalu karep mewujudkan cita-cita. Berjalannya detik tidak bisa dihindari, berputarnya jam dinding tak mungkin bisa dielak. Maka, seluruh jamaah ditodong untuk membawa satu-dua bungkus hasil diskusi malam ini.
Sebagai rasa syukur atas segala keadaan, lagu “Syukur” menjadi akhir suguhan Kanjeng Kustik. Disertai kesungguhan hati, para jamaah menutup rutinan Sanggar Kedirian dengan Mahallul Qiyam yang dipimpin Gus Faizin.