Malu

Pambuko Sanggar Kedirian 1 Desember 2017

Malu, dalam bahasa Jawa artinya memalu (memukul memakai palu) sebuah kata kerja melakukan pukulan dengan palu. Malu dalam istilah bahasa Indonesia itu adalah sebuah ungkapan perasaan yang dari sebuah respek hati dan pikiran akibat sebuah tindakan yang dialami sebelumnya atau sesudahnya yang ingin ditutupi. Ada orang yang malu dilihat karena aurot terbuka. Ada yang malu kalau tampil gak necis. Ada juga yang malu akibat berbuat buruk.

Anehnya ada orang yang malu kalau orang lain tahu kita berbuat korupsi, mencuri tapi kok ya tetap saja melakukan tindakan korupsinya. Karena malu, si Fulan terpaksa menutup wajahnya ketika diekspos media. Bahkan menutupinya dengan tindakan yang sebenarnya lebih memalukan untuk menutupi malunya. Menutup malu dengan tindakan memalukan ini bisa jadi malah akhirnya si Fulan menjadi tak tahu malu. Sehingga orang yang gregetan terhadap orang yang tak tahu malu terpaksa ingin malu (memalu/memukul dengan palu) kepalanya.

Mari membangun rasa malu yang proposional dalam rutinan Sanggar Kedirian pada

hari: Jumat malam Sabtu Legi
tanggal: 1 Desember 2017
pukul: 20.00 WIB
lokasi: Musholla GNI Kota Kediri

dengan pemandu pagar keilmuan Ust. DR. Bustanul Arifin MM. dan Kanjeng Kustik sebagai pengiring nyanyian dan sholawatan.

Continue reading Malu

Ngejur Ati, Perbaiki Keburukan

Reportase Sanggar Kedirian 27 Oktober 2017

Hari Jumat, malam Sabtu Legi, 27 Oktober 2017. Atas dasar cinta dan semangat paseduluran, rutinan Sanggar Kedirian (SK) dilaksanakan kembali. Berbeda dengan rutinan biasanya yang berlokasi di emperan Gedung Nasional Indonesia (GNI), malam ini Sanggar Kedirian mengambil tempat di emperan musholla GNI. Karpet-karpet yang digelar merupakan wujud me-nyumangga-kan siapa saja yang hendak duduk bareng, sinau bareng, menyambung dengkul. Seperti biasa, acara diawali dengan pembacaan Alquran sebagai pambuka sekaligus bahan tadabbur seluruh jamaah. Kang Lingga, yang kebetulan dipasrahi memandu acara malam ini, memaparkan tema “Ngruwat Karep”. Sejenak kemudian, Kang Lingga menyerahkan mik kepada salah satu penggiat SK, Mbah Gatot, yang lebih akrab disapa “Kang Gareng”.

Karep; kabeh menungsa nduwe karep,” ungkap Mbah Gatot mengawali. “Masalahnya, bagaimana kita bisa menyelaraskan, mengatasi karep tersebut. Semisal begini; ada seorang pengusaha ingin memarkir mobil. Ternyata, si tukang parkir adalah kanca SMP-nya. Karep yang punya mobil ya bayar parkir. Tapi, karep si tukang parkir -karena kanca dhewe– ya tidak usah. Atau sebaliknya, karep yang punya mobil tidak usah bayar. Karep si tukang parkir -karena kanca dhewe- ya mbok nilai parkirnya ditambahi. Nah, di sinilah sebenarnya bagaimana (penentuan) sikap kita dalam mengolah dan meng-ruwat karep tersebut.”

Secara serius, jamaah diajak menerawang dan terjun pada pikiran masalah yang sedang dikaji. Melihat banyaknya jamaah yang baru merapat di SK, Mbah Gatot spontan memaparkan bahwa di Sanggar Kedirian tidak ada guru dan tidak ada murid. Semua sinau bareng. Sebelum seluruh jamaah dipersilakan merespon Mbah Gatot, lagu “Hasbunallah” dari Kanjeng Kustik menjadi penyejuk dan penyeimbang suasana. Petikan senar, getaran seruling, rentetan not orgen, dan gesekan biola ikut serta memadukan cinta menjadi kesatuan nada.

“Tujuan dan karep ini sama apa tidak, ya?” Cak Har menyambung diskusi, memberikan rangsangan terkait karep, supaya arah keinginan, angan-angan, dst. bisa jelas nantinya.

Mik diserahkan kepada siapapun yang hendak urun rembuk, sekaligus memperkenalkan diri bagi dulur yang baru saja hadir. Bang Wahyu (Gundul, pen.) menyumbangkan suaranya, “Tujuan dan cita-cita ya sama. Jadi, tujuannya ke sana, arah cita-citanya ya ke sana; wis podo ae. Kalau ditanya cita-cita, saya ingin jadi TNI, meskipun gagal. Karep saya juga ke sana.”

Cak Adnan, yang baru saja hadir, mengejar Bang Wahyu, “Kira-kira yang membuat gagal itu (faktor) dari dalam diri atau dari luar?”

“Nah iku; saya dulu kurang dhuwur, Rek. Masiya ora dadi TNItapi nek jaket ae nduwe.

Jawaban Bang Wahyu sontak disambut tawa para jamaah. Keceriaan yang tidak dibuat-buat semacam ini menambah kehangatan dalam ber-sedulur. Sebagaimana gojlokan dan poyokan yang bertebaran di sepanjang diskusi, celetukan-celetukan ringan menimbulkan gelak tawa spontan yang memeriahkan suasana.

Dhe Budi, (akrab disapa Makde Giren) memaparkan tentang ruwat, “Dadi ruwat itu ngapiki sing elek. Nek enek apa-apa ala, yuk digoleki apike. Jadi, selalu timbulkan sugesti positif.”

Secara bergantian, jamaah diserahi mik untuk memperkenalkan diri. Hal yang menarik saat diserahi mik adalah banyaknya jamaah yang mengenalkan diri sekaligus ikut urun rembug. Misalnya ada yang berpendapat, tujuan itu apa yang hendak ditempuh; jalan untuk mencapai tujuan itulah karep. Tujuan menjadi manusia adalah mati. Nah, bagaimana karep bisa menjadi bekal mati? Sungguh-sungguh atau tidak? Ada juga yang merespon Mbah Gatot mengenai guru. Guru tidak hanya di sekolah dan di kampus. Jadi, guru itu berguru pada siapa saja dan apa saja. Berguru pada alam, misalnya jika ada gempa bumi, kita bisa mempelajari kejadian tersebut.

“Manusia tujuannya mati. Nah, tujuan atau cita-cita tidak akan hadir kalau tidak ada karep.” kata Gus Faizin yang kebetulan hadir, membenarkan pendapat jamaah sebelumnya mengenai tujuan dan karep.

Malam ini, beberapa jamaah yang hadir, meskipun berdomisili di Kediri, sebenarnya berasal dari kota lain. Seperti Didin dari Blitar, keponakan Yai Muzzammil dari Sumenep, dan Latif dari Tuban. Usai sesi perkenalan diri, mik kembali diserahkan ke depan. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, Cak Adnan menjelaskan, “SK sengaja mengambil tema dari kejadian sehari-hari yang nantinya bisa memberikan sumbangsih untuk selanjutnya. Kalau bicara kejadian publik, data kita kurang. Lagipula, kalau urusan sekitar beres, pada akhirnya yang lain kok saya kira katut.”

Pukul 22.45, Kanjeng Kustik meng-cover lagu Iwan Fals “Seperti Matahari”; disusul dengan puisi Cak Har tentang ngruwat karep. Jamaah mendapatkan kesempatan rengeng-rengeng sejenak, sebelum kemudian melanjutkan diskusi lagi.

Beberapa jamaah menyadari memang sulit jika menuruti karepe dhewe. Salah satu cara sederhana adalah ngalah. Namun, sampai batas mana ngalah tersebut? Kang Andri mencoba menjawab, “Ngalah itu sama dengan ngejur atine dhewe. Memang agak berani kalau kita mengambil jalan ngalah. Di sana ada perang antar kepala dan hati, hingga nanti siapa yang mampu menang.”

Sementara itu, Kang Toma merumuskan definisi tema, “Ngruwatngrumangsani nek gawat. Karep, mekare nek ngarep. Nah, untuk menangani karep, saya tertarik dengan tulisan di belakang kaos Mas Andri: ‘Muhammad adalah energi’. Ini upaya kita untuk terus menyinergikan kekuatan.

Diskusi semakin gayeng saat tiba-tiba gerimis hadir di tengah-tengah acara. Kehangatan justru semakin bertambah karena kondisi tersebut; tubuh harus didekatkan, direkatkan, menuju emper musholla. Satu per satu karpet dilipat, tetapi acara tetap dilanjutkan.

Kang Mas Ibrahim memberikan argumen mengenai cita-cita dan karep. Cita-cita itu tujuan jangka panjang, karep itu perjuangan, berjuang untuk selalu karep mewujudkan cita-cita. Berjalannya detik tidak bisa dihindari, berputarnya jam dinding tak mungkin bisa dielak. Maka, seluruh jamaah ditodong untuk membawa satu-dua bungkus hasil diskusi malam ini.

Sebagai rasa syukur atas segala keadaan, lagu “Syukur” menjadi akhir suguhan Kanjeng Kustik. Disertai kesungguhan hati, para jamaah menutup rutinan Sanggar Kedirian dengan Mahallul Qiyam yang dipimpin Gus Faizin.

Continue reading Ngejur Ati, Perbaiki Keburukan

Ngruwat Karep

 Pambuko Sanggar Kedirian 27 Oktober 2017

“Yowislah sak karepmu”. “Yo karepku to!” “Sak karepmu kono.”

Kalimat diatas adalah ungkapan yang sering kali kita dengar dan ucapkan. Berusaha dari hal jelek ke hal baik dinamakan ngruwat. Merubah amburadul menjadi cantik adalah ngruwat. Merawat dan menjaga amanah adalah ngruwat. Berusaha berfikir keras, bekerja keras, berkreativitas dan ulet adalah ngruwat. Bergantung kepada tuhan atas segala hal yang diusahakan dan dikerjakan menuju kebaikan adalah ngruwat.

Sementara karep ialah keinginan, karep juga bermakna harapan. Sebaik-baiknya keinginan dan harapan ialah keinginan Tuhan. Menjaga dan menjalankan keinginan Tuhan, pastilah sang penjaga dan pejalan keinginan itu akan dijamin atas Tuhannya.

Akan tetapi jangan lupa, sebuah karep bisa muncul dengan menggantungkan harapannya kepada orang lain. Entah itu sahabat, teman bahkan saudaranya, sehingga pencapaian sebuah karep tadi akan terpenuhi bilamana orang lain tersebut menuruti sebuah harapan yang dikarepkan, sedangkan andai kata pihak lain tadi tidak bisa memenuhi apa yang diharapkan maka disitu akan muncul sebuah kekecewaan. Di sinilah letak bahasan untuk kita wedar, bertukar pikiran, berpendapat dalam menyikapi serta mengkaji hal yang mungkin bisa terjadi kepada siapa saja termasuk diri kita masing-masing.

Mari melingkar bersama dan ngruwat karep dalam rutinan Sanggar Kedirian, pada

hari: Jumat Kliwon malam Sabtu Legi, 27 Oktober 2017
lokasi : Musholla GNI kota Kediri
pukul : 20.00-24.00 WIB
pemandu Keilmuan: Ust. DR. Bustanul Arifin
penyegar : Kanjeng Kustik

Continue reading Ngruwat Karep

“0” (Nol) – Keseimbangan Pandangan

Pambuko Sanggar Kedirian 22 September 2017 

Rutinan bulan kali ini bertepatan dengan hari dimana Kedirian melahirkan tunas-tunas baru, tunas baru yang diharapkan lebih bertanggung jawab, lebih murni, lebih progresif, lebih tangguh, dan lebih bisa diandalkan untuk memimpin dan dipimpin.

Sejak dilahirkan Kedirian awal tahun 2010-an, memang diniatkan sebagai ruang bagi kalangan siapapun untuk sinau bareng menumbuhkan kesadaran atas diri kita sendiri, mengenali diri kita sendiri. Sehingga demi keberlangsungan itu tetap terjaga sekaligus untuk menumbuhkan harapan masa depan, maka tunas baru itu bernama Sanggar Kedirian, yang lahir setahun lalu. Belajar dari masa lalu untuk menempuh masa depan adalah bagian dari proses perjalanan diri mengenal diri, baik dalam konteks pribadi maupun komunitas. Peringatan satu tahun Sanggar Kedirian ini harapannya hanya satu “ridho Alloh”.

Berangkat dari bulan sebelumnya yang mengangkat tema “Maos, Ngaos, Looss”, adalah sebuah tekad dan sikap untuk membaca, menganalisa, mentadabburi setiap apapun semampu-mampunya, sampai mencapai titik temu hakikatnya, dan akan semakin medekatkan kita pada Allah. Pada rutinan kali ini Sanggar Kedirian mengangkat tema “0” (NOL) yang mana merupakan keberlanjutan dari tema bulan lalu. “0” (NOL) dalam bilangan, akan banyak kita temukan filosofi atau makna analogi kehidupan manusia. Namun nilai primer dalam tema ini lebih mengajak kita untuk berlatih menjaga kesadaran keseimbangan, bukan hanya keseimbangan berpikir, melainkan juga keseimbangan berperilaku, keseimbangan informasi bahkan mampu menyeimbangkan kekhusyukan di tengah kegembiraan.

Sedulur, monggo bareng-bareng ngonceki tema “Nol” ini. Piye sakjane “Nol” kuwi? Mari melingkar bersama menemukan titik keseimbangan pada “Nol”.


Continue reading “0” (Nol) – Keseimbangan Pandangan

Maos Ngaos Looss..!

 Pambuko Sanggar Kedirian 18 Agustus 2017

Selama masih ada kehidupan, selama itu pula kita akan tetap dihadapkan dengan kode-kode kehidupan. Tuhan telah membentangkan kode-kode-Nya di keluasan semesta. Kode-kode dalam Al-Qur’an tekstual maupun yang kontekstual. Kode-kode inilah yang harus kita perjuangkan untuk dipahami, sebagai peta dan kompas penunjuk arah agar selamat menuju kepulangan yang sejati. Mengingat pentingnya belajar memahami kode-kode ini, Tuhan pun menganjurkan untuk iqra’ (bacalah) dalam firman-Nya yang pertama kali. (PB Juli 2017)

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” [1] (Al-Kahfi: 109). “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya. dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [2] (Luqman: 27).

Sanggar Kedirian edisi Agustus 2017 ini mengajak dulur-dulur untuk membaca tekstual maupun kontekstual, meng-aji, menemukan aji, semampu-mampunya di luas dan dalamnya samudera ilmunya Allah pada malam Sabtu Legi, 18 Agustus 2017 di Gedung GNI Kediri. Turut menemani maos dan ngaos Pak Bustanul ‘Arifin dan Kanjeng Kustik. Semoga kita mendapat kekuatan untuk selalu maos, ngaos. Amiin.

Continue reading Maos Ngaos Looss..!

Barokah Kopikiran

Pambuko Sanggar Kedirian 13 Juli 2017 

Kaya dalam kemiskinan, terang dalam kegelapan. Kaya jadi satu dalam miskin dan terang kok jadi satu sama gelap. Sepertinya kata ini suatu yang tidak mungkin terjadi.

Tapi dalam kehidupan, kata bijak yang diajarkan oleh Cak Nun itu menjadi daya kekuatan hidup yang luar biasa. Dalam kemiskinan ternyata kita bisa meraih kekayaan sejati, dalam kegelapan kita bisa menemukan cahaya. Pemikiran Cak Nun ini sangat mengajak ke makna hidup yang barokah. Barokah yg diawali dari pemikiran, pemikiran yang mengantarkan kepada barokah.

Dari pemikiran yang Bahasa Jawanya "soko" pikiran atau disingkat "ko" pikiran, kemudian dijalankan dalam kehidupan sehingga barokah itu bisa menyapa kita, barokah menemani kita.

Sanggar Kedirian di bulan ini mengajak ber-assalamu’alaikum bersama melingkar dalam perjalanan Tema “Barok Ah ☕ Kiran” pada: 

hari/tgl : Kamis, 13 Juli 2017

pukul : 20.00 WIB

tempat : GNI, Kota Kediri, Jawa Timur

(Atas anjuran Ustadz Bustanul Arifin khusus bulan ini diajukan sehari untuk menjadi satu paket Ramadhan-Syawal, bulan selanjutnya kembali Jumat malam Sabtu Legi)

Tentunya semoga Kanjeng Kustik dalam kondisi barokah sehat sentosa kembali bisa menemani dulur-dulur Sanggar Kedirian.

Barokah juga berlimpah kepada Ustadz Bustanul Arifin yang akan menemani dulur-dulur sebagai juru kunci pintu keilmuan Sanggar Kedirian dalam rutinan bulan ini.

Semoga semua dulur-dulur Sanggar Kedirian dan semua yang membaca catatan ini diberikan barokah kesehatan serta rejeki sehingga ditakdirkan Alloh untuk hadir melingkar adu dengkul dalam Rutinan Sanggar Kedirian.

Amin Amin Amin.

Al-Fatihah.

Continue reading Barokah Kopikiran

Totalitas

 Pambuko Sanggar Kedirian 5 Mei 2017

Sebagian besar diantara kita, sesungguhnya baru berada dalam taraf belajar merasakan, membaca, mendengarkan dan kemudian mengutarakan pandangan atau pendapat, baik di dunia nyata ataupun di ranah dunia maya. Karena baru berada pada taraf itu, sebenarnya wajar kalau adakalanya masih saja gagap. Termasuk gagap dalam menghadapi beda pandangan atau pendapat lain pihak.

Yang sungguh diharap adalah “ya mugo-mugo wae kita semua memiliki cukup kesadaran untuk tak bethenti sinau dan berani serta tak malas memasuki ruang-ruang yang menyimpan aneka pandangan ataupun pendapat yang bisa saja berlainan dengan pandangan ataupun pendapat kita”.


TAHU DIRI

Alloh berada di dalam diri kita, atau kita berada berada di dalamNya? “Man arafa nafsahu, arafa robbahu” yang artinya, “Siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal tuhannya. Dengan menafsirkan-Nya dimungkinkan ada alasan untuk kemudian ‘mengenal’, entah dengan cara ‘berenang’ atau ‘tenggelam’ dalam ke Maha Luas tak terbatasnya Alloh. Keduanya sama-sama berada dalam keluasan, namun tenggelam dikendalikan oleh air dengan sempurna, tetapi berenang dikendalikan oleh diri sendiri. Pada batasan siapa yang mengenali dirinya, maka ia akan tahu Tuhannya, melahirkan pemahaman bahwa orang yang tidak mengetahui jika Tuhan itu ada dan nyata, mereka tergolong orang kufur. Demikian juga jika seseorang berkata bahwa ia melihat Tuhan dengan nyata, maka ia juga orang munafik. Tuhan bukan jagat raya ini, semesta raya hanyalah bagian kecil dari cipratan kreatifitas penciptaanNya. 


DEGRADASI NILAI

Posisi “koordinat” Al-Islam dan As-Silmu dalam Surat Al-Baqarah [2:208] “Udkhuluu fissilmi kaaffah” kerap diterjemahkan, “Masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara keseluruhan.” Yang patut dicermati pada ayat tersebut adalah mengapa digunakan kata As-Silmu, bukan Al-Islam? Apakah Nilai-nilai Islam itu, harus kita masuki secara totalitas? Tapi, apa mungkin kita yang sarat kelemahan dan keterbatasan ini bisa memasukinya secara total dan utuh? Ada dua sudut pandang untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, memasuki silmu secara total atau kaffah bisa diupayakan secara teoritis (al-‘ilmu). “Ittaqullaaha haqqa tuqaatih” (QS. Ali Imron: 102). Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Surat ini bekerja dalam lingkup dan konteks teoritis keilmuan.

Setiap orang sejatinya akan dan sedang berjuang untuk menemukan lalu menyelami nilai-nilai As-silmu sesuai thariqah dirinya yang paling aktual. Untuk itu diperlukan kepekaan mememukan As-silmu dalam setiap kegiatan yang dijalani.

Monggo melingkar bersama dengan Totalitas prncarian As-silmu dalam rutinan Sanggar Kedirian yang akan digelar pada 5 Mei 2017 di Gedung GNI, Kota Kediri. Turut hadir Pak Bustanul ‘Arifin sebagai pauger keilmuan dan Kanjeng Kustik sebagai penyegar di tengah-tengah diskusi yang berlangsung.

Continue reading Totalitas

Di Luar Jangkauan

Pambuko Sanggar Kedirian 31 Maret 2017 


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Kita ini hanyalah kumpulan orang-orang kecil yang selalu diremehkan. Tapi di dalam keremehan kerendahan kita, terkadang menyimpan kekuatan yang diluar jangkauan nalar manusia. Lha wong jelas-jelas nganggur gak punya kerja kita berani kok melamar anak orang untuk dinikahi karena yakin rizki dari Tuhan. Jelas pengangguran tapi kita berani kredit motor dan sanggup membayar cicilannya. Jelas-jelas bukan lulusan sekolah Mesin tapi betapa banyak orang kita yang ahli tukang mesin. Jelas-jelas bukan orang yang ahli tata negara, tapi betapa banyak orang-orang yang sering mengurus urusan yang harusnya urusan negara.

Orang-orang kita penuh kreativitas meski negara tidak mengurus. Terus bekerja dan tidak berharap pada negara. Semua hal diatas membuktikan bahwa banyak sekali hal-hal yang diluar jangkauan manusia. Secara nalar manusia, harusnya Indonesia dengan permasalahan yang super banyak ini sudah hancur. Tapi di luar jangkauan manusia, Tuhan masih selalu menolong dengan memberikan kekuatan di luar jangkauan nalar manusia bagi rakyatnya.

Jaga kemurnian dan jaga keikhlasan ini menjadi kunci untuk jaga keluarga, jaga lingkungan kecil, jaga saudara-saudaramu, jaga negerimu. Maka akan menemui kejutan-kejutan anugerah di luar jangkauan nalar manusia.

Sanggar Kedirian kembali ber-assalamu’alaikum berkumpul membahas hal-hal di luar jangkauan. Pada hari Jumat, 31 Maret 2017 pada pukul : 20.00 WIB di GNI Kota Kediri.

Nderes, bersholawat dan mengkaji bertadabbur. Dengan nara sumber seluruh hadirin Sanggar Kedirian dan Pak Bustanul Arifin selaku pauger keilmuan. Monggo merapat bersilaturahmi, ngopi bersama dalam rutinan Sanggar Kedirian.

Continue reading Di Luar Jangkauan

Roka’at Salam

Pambuko Sanggar Kedirian 24 Februari 2017 


Benarkah salam yang kita sampaikan benar-benar telah assalamu’alaikum?

Sudahkah perilaku kita telah assalamu’alaikum?

Apakah hidup kita telah ber-assalamu’alaikum?

Masih sering kita berucap assalamu’alaikum tetapi perilaku kita masih menjadi ancaman bagi sekitar kita. Salam assalamu’alaikum hanya menjadi formalitas, pelengkap acara. Salam assalamu’alaikum hanya di mulut jauh dari perbuatan saling memberi keselamatan.

Roka’at Salam mesti kita jalani untuk diri sendiri, keluarga, kerabat, saudara, teman, lingkungan, masyarakat dan bernegara.

Sanggar Kedirian melingkar ber-assal’amualaikum, pada hari Jumat malam Sabtu legi tanggal 24 Februari 2017 pukul 19.30 WIB, berlokasi di GNI Kota Kediri. Turut ber-assalamu’alaikum Kanjeng Kustik dan Kiai Bagus (berwirid dan bersholawat).

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh


Continue reading Roka’at Salam

Presisi Fungsi dalam Paseduluran

Reportase Sanggar Kedirian 20 Januari 2017


Sudah tidak asing lagi jika dalam sebuah hubungan persaudaraan terjadi dinamika di dalamnya, tidak terkecuali di Sanggar Kedirian. Sehingga yang kita butuhkan adalah memasang kuda-kuda yang pas, karena setiap individu memiliki fungsi yang tentu tidak sama, porsi, presisi dan kompetensinya.

Adakalanya ia sebagai pengkritik, pengawas, pemelihara, menjadi pupuk atau bahkan hama dan parasit. Oleh karena itu, agar tidak terjadi intervensi, perpecahan, adu domba dan kesalahpahaman, mari kita himpun keawetan peseduluran dengan menjaga kesolidan sehingga Obor Peseduluran bisa terus berkobar menyala. Jadikan semua yang pernah menghiasi bingkai dalam ukhuwah ini, menjadi kemanfaatan di masa depan karena ia adalah bagian dari proses peseduluran itu sendiri.


“Lantas, bagaimana agar kita bisa menanam di kebun sendiri? Ditrisnoni kabeh”, ngendikane Lek Ham. Mari menanam dengan jeli dan mencari fungsi setiap sesuatu. Karena sebenarnya tidak ada sesuatu yang tidak baik dari kebermanfaatan itu sendiri.

Ketok gak dipethui, ilang gak digoleki. Membelakangi tidak berarti membenci dan memusuhi. Ada tali hati yang selalu setia menemani. Belajar setia pada paseduluran, walau menjaganya tidaklah mudah.

Dianalogikan oleh Pak Bus bahwa dalam paseduluran seperti halnya bangunan rumah. Meski terkadang ada orang dengan fungsi genteng merasa paling berjasa karena sifatnya mengayomi dan melindungi dari hujan namun akhirnya akan merasa juga bahwa kehadirannya ditopang oleh orang dengan fungsi reng dan usuk yang rela terkena tusukan paku kesengsaraan demi menopang orang dengan fungsi genteng.

Pukul 00.00 WIB, acara diakhiri dengan bersholawat bersama dan doa. Dilanjutkan dengan bersalam-salaman sebagai pertanda terjaganya nyala obor paseduluran untuk kebermanfaatan bersama.






 



 

Continue reading Presisi Fungsi dalam Paseduluran

Obor Paseduluran

Pambuko Sanggar Kedirian 20 Januari 2017


Mereka yang diperjalankan ke majelis rutinan Sanggar Kedirian berbekal hati yang murni. Ketika kemurnian hati itu yang dibawa dari rumah, maka yang akan didapatkan adalah ilmu-ilmu dan kesadaran-kesadaran rohani yang dianugerahkan langsung oleh Allah. Dengan Ke-diri-an, akan menumbuhkan manusia-manusia sejati yang bertanggung jawab atas kedaulatan dirinya, keluarganya dan manusia-manusia yang diberkahi ilmu dan ke-linuwih-an yang consern pada nilai-nilai kebersamaan untuk saling memanusiakan manusia

NILAI PASEDULURAN

Seiring berjalannya waktu sejak rutinan Kedirian generasi awal, tahun 2011 hingga sekarang bernama Sanggar Kedirian telah mengalami berbagai perjumpaan yang saling menyemburatkan cahaya, layaknya pertemuan sinar fajar mentari kepada penghuni bumi yang membuat kita lebih semangat dalam mengarungi kehidupan. Kehidupan kita bukan hanya menerima atau memantulkan tapi juga turut berpartisipasi dalam pembentukan cahaya dalam diri, keluarga, masyarakat bahkan semesta. Perjumpaan yang saling memantulkan cahaya ilmu kehidupan  tak hanya perjumpaan fisik namun juga gelombang dan rohani. Ada yang menarik di sini, tumbuhnya mereka merupakan satu kesadaran baru, ghirah gerakan Islam yang tidak sekadar berlandaskan satu gejala ikut-ikutan (eskapisme) saja, apalagi bernuansa bisnis, namun tumbuh dari hati yang paling dalam, yakni sebuah kerinduan akan tumbuhnya paseduluran dan cinta kasih kepada Allah dan Rasulullah.

Di antara mereka bahkan dengan bangga menyebut Sanggar Kedirian sebagai Majelis Tanpa Ustadz. Ini bisa saja hanya sebuah sindiran atas maraknya ustadz-ustadz komersial, namun boleh jadi pula mereka sudah memahami apa itu sebenarnya yang dimaksud sifat Kedirian. Dalam Sanggar Kedirian tidak ada aktor tunggal, tidak ada tokoh, semuanya duduk melingkar, sederajad, tidak ada ustadz, namun semuanya tunduk dan berendah hati di hadapan Allah SWT dan Rasulullah guna menjalin paseduluran. Tidak  ada yang pandai atau yang bodoh. Kalaupun ada yang berbicara atau sebagai narasumber, itu sifatnya hanya fasilitator untuk berdiskusi, sembari memberi pancingan-pancingan segar agar ditanggapi bersama.

Ada energi yang menguatkan mereka, dan bermuara kepada tujuan untuk saling membesarkan hati diantaranya dan saling menabur cinta, membesarkan tekad untuk memperbaiki diri, memperbaiki keluarga, syukur memperbaiki bangsa negara sampai alam semesta ini. Mereka adalah orang-orang yang bersentuhan hatinya satu sama lain. Lalu mereka saling membukakan sesuatu di antara mereka. Dan saling menemukan puzzling masing-masing.

Kalau meminjam dari bahasa Maiyah, ma`a, Maiyah yang berarti kebersamaan, bukan kebersamaan yang hanya secara fisik belaka, namun bersama menyatu dalam hati kita. Tidak saja hanya bersama antara kita saja namun juga bersama dengan Allah sang pencipta dan Rasulullah SAW. Bersama disini adalah “saling” dengan berbagai hal baik. Rosulullah SAW juga berpesan kepada umatnya agar selalu menjaga persaudaraan dengan saling bantu membantu serta berbuat baik. Orang muslim itu saudara muslim lainnya”(HR Abu Dawud). Dalam riwayat lain, “Orang mu’min dengan mu’min lainnya bagaikan suatu bangungan kokoh yang saling menguatkan antara satu dengan lainnya”(HR Bukhori, Muslim, Tarmidzi dan Nasai’ dari Abu Musa Al-Asy’ari). Dalam surat Al-hujurat, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara karena itu damaikanlah diantara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”(Al-hujuraat: 10).

SEMUT IRENG

Di tengah gelombang pragmatisme, materialisme, dan hubbud dunya yang begitu dahsyat, kita tidak perlu galau, tidak perlu terlalu cemas, atau mengeluh dan kecewa berkepanjangan. Kita percaya bahwa nilai-nilai luhur tidak akan pernah mati dalam lubuk hati manusia. Masih banyak di sekitar kita ini orang-orang baik, jujur, istiqamah fi dinillah, dan komunitas-komunitas yang memelihara akal sehat umat.

Salah satu konsep Maiyah adalah ke dalam Maiyah kita melakukan penyadaran, ke luar Maiyah kita melakukan pengayoman. Pengayoman terhadap keluarga utamanya, kita menekuni pekerjaan kita masing-masing. Baik sendiri maupun kerjasama antar paseduluran. Yang pedagang menekuni perdagangannya. Yang petani menekuni pertaniannya. Yang wirausahawan menekuni wirausahanya. Yang guru dan dosen menekuni keguruan dan kependidikannya. Yang karyawan menekuni kekaryawannya. Yang pejabat negara melakukan kewajibannya sebagai pejabat yang adil dan jujur. Islam menghargai semua jenis pekerjaan yang halal. Islam menghargai semua pekerja di bidang apapun.

Ketika telah menyadari hal itu semua, maka kekuatan yang kita miliki hari ini adalah pertahanan paseduluran. Kekuatan silaturahmi, gotong royong dan toleransi tentunya dapat kita tumbuh dan tingkatkan lagi. Ibarat bangsa semut yang  memiliki karakter berupa tingkat kerjasama dan gotong royong yang sangat tinggi serta tidak rakus. Bangsa semut melayani orang lain sampai tingkat ekstrem, dia Ikhlas menjadi dirinya, sangat mandiri dan dia membuat kelemahan menjadi kelebihannya, seperti saat memasuki telinga gajah. Peristiwa yang sama bisa berbeda proses akhlaknya, pencurian bisa menjadi paseduluran dan itu salah satu wilayah perjuangan Maiyah. Karena baik buruknya akhlak itu ada konteks dan tempatnya, membunuh tidak selamanya buruk dan memberi makan tidak selalu baik.


Ia baik
Tapi tak merasa lebih baik dari siapapun,
Sehingga tak juga mempengaruhi mereka untuk mengikutinya
Ia pintar
Tapi tak merasa lebih pintar dari siapapun
Sehingga tak juga merasa berhak untuk mengatur-atur mereka
Continue reading Obor Paseduluran