Review Angon Mangsa

 

Kiratha basa dari mangsamamang ing rasa, bahwa setiap orang mempunyai rasa keragu-raguan. Ada yang bilang mongsa, ngemong rasa, berarti sabar dalam berbagai keadaan. Namun kebanyakan ditulis dengan mongso yang diartikan sebagai waktu.

Bagaimana sebuah tulisan jangan dijadikan penyebab lupa diri terhadap keterbatasan kita. Bahwa mawas diri perlu dilakukan, jangan pernah puas dan putus asa dengan yang kita miliki berlandaskan syukur. Usaha dan syukur berdampingan angon mangsa.

Sepadan dengan itu al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berfatwa:

وإنما تحصل الهموم والغموم والأحزان من جهتين “
إحداهما : الرغبة في الدنيا والحرص عليها
” والثاني : التقصير في أعـمال البر والطاعة

“Hanya saja kegundahan, duka cita dan kesedihan muncul dikarenakan 2 sebab:
1. Cinta dunia dan ambisi kepadanya.
2. Kurang dalam beramal kebaikan dan ketaatan.”

‘Udatush Shabirin hal. 265.

Semoga Bermanfaat.

[Bustanul 'Arifin]

Continue reading Review Angon Mangsa

Belajar Kepada Kisah Umat-Umat Terdahulu

Reportase Rutinan Sanggar Kedirian 21 Desember 2018


Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

(Puisi Hujan di Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono)

Barangkali puisi tersebut sudah tidak asing lagi. Namun hanya sedikit yang tahu bahwa sebelum puisi tersebut lahir, dalam benak Sapardi-yang saat itu baru saja mengalami fenomena hujan salah mongso-timbul pertanyaan, kenapa hujan mesti repot-repot datang di bulan Juni yang merupakan puncak kemarau?


Jika dari pertanyaan tersebut kemudian lahir puisi Hujan di Bulan Juni, itu hak Sapardi sebagai seorang penyair. Beda cerita dengan Mbah Nun. Beliau tidak bisa diidentifikasi sebagai penyair saja. Wajar jika kemudian, saat menyinggung fenomena salah mongso, menurut beliau hal itu terjadi karena ada yang sedang berubah pada diri manusia.

Sebab manusia adalah ciptaan Allah adalah saudara muda dari alam adalah termasuk bagian dari alam. Otomatis setiap perilaku manusia akan berdampak pada lingkungan sekitar. Pernah mendengar cerita tentang alat kelamin yang mengalami keanehan setelah kencing sembarangan itu salah satu contohnya.

***

Pada malam Sabtu Legi bulan Desember yang lalu sedulur-sedulur Sanggar Kedirian melingkar bersama di pelataran mushola GNI. Adapun tema rutinan malam itu ialah Angon Mongso. Menurut mas Andri, fenomena salah mongso-dalam artian luas-yang semakin banyak ini menuntut kita untuk meng-angon-nya. Sebab manusia adalah khalifatul fil ardh maka seharusnya kesadaran itu ditanam dalam diri kita, begitu menurut mas Tri Santoso.

Nah, bagaimana caranya? Salah satunya dengan metode rumah kaca. Bahasa mudahnya, ndandadi, atau meminjam bahasanya Cak Adnan membuat ‘cuaca’, di sekitar kita dahulu agar menjadi lebih baik. Bisa dimulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga kiri-kanan, teman-teman terdekat dan lingkungan sekitar.

Makdhe Budi Giren, mbah Meikel Ibrahim dan mas Sigit kemudian mengingatkan agar selalu berhati-berhati dan waspada dalam mengambil tindakan. Pun, mas Habib juga menggarisbawahi tentang kesadaran sebagai makhluk Allah, yang diciptakan jauh setelah alam dibuat, benar-benar terpatri dalam diri kita. Supaya kejadian salah mangsane umat-umat terdahulu tidak terjadi lagi.

Mbah Bustanul Arifin kemudian mengisahkan tentang umat-umat terdahulu; pengendalian diri umat Nabi Nuh ketika di terombang-ambing di atas kapal; penyebab kehancuran umat Nabi Hud dan Nabi Sholeh; pembangunan kembali ketauhidan pada masa Nabi Ibrahim yang kemudian disempurnakan oleh keturunannya yaitu Kanjeng Nabi Muhammad.

Semua kisah yang telah dipaparkan oleh mbah Bustanul Arifin tersebut tak lain agar menjadi cerminan bagi diri kita masing-masing. Sudahkah kita lebih baik, lebih arif, dan lebih bijak daripada hujan di bulan Juni?

Continue reading Belajar Kepada Kisah Umat-Umat Terdahulu

Angon Mongso

Pambuko rutinan Sanggar Kedirian 21 Desember 2018


Pada suatu masa yang jauh, sang raja dari sebuah negeri yang konon disebut sebagai salah satu negeri penggalan surga, baru saja mengalami sebuah mimpi yang ganjil. Para ahli tafsir mimpi dikumpulkan. Satu persatu disuruh menafsirkan keganjilan mimpi tersebut. Namun, tidak satupun yang mampu melegakan perasaan sang raja. Suasana seketika menjadi gamang. 

Di saat kegamangan mencapai puncaknya, seorang gedibal memberanikan diri berbicara. “Ampun, Baginda,” kata si gedibal, “Hamba mengenal seseorang yang mampu menafsirkan mimpi tersebut.”

“Jangan asal bicara, wahai alas kakiku,” hardik sang raja,”Semua ahli tafsir mimpi yang ada di negeri ini sudah kukumpulkan. Orang mana lagi yang kau maksud?”

“Kenalan hamba bukan penafsir mimpi, Baginda. Ia hanya seorang hamba Tuhan yang lebih memilih penjara daripada…”

“Aku ingat orang itu,” sahut sang raja, “Lekas temui dan ceritakan padanya ihwal mimpiku!”

Sendika, Baginda.” kata si gedibal sembari beringsut pergi.

Sesampainya si gedibal di penjara dan setelah membicarakan basa-basi untuk kepantasan, ia langsung menyatakan maksud kedatangannya, ”Wahai Yusuf, terangkanlah arti dari mimpi sang raja tentang tujuh ekor sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus dan ada tujuh tangkai gandum yang hijau sementara tujuh tangkai lainnya kering.”

Begitulah, kelanjutan dari kisah tersebut dapat kita lihat sendiri dalam Al-qur’an Surat Yusuf. Syukur, kalau bisa, dengan sedikit mentadabburinya, hasil dari tadabbur tersebut dapat kita rembug bersama dalam rutinan Sanggar Kedirian yang kebetulan mengambil tema yang masih berkesinambungan dengan cerita diatas: Angon Mongso.

Memang tidak semua manusia mempunyai keahlian men-takwil mimpi seperti yg dianugerahkan Allah kepada Kanjeng Nabi Yusuf, mampu merinci dan menjelaskan apa gerangan yang terjadi di musim mendatang. Pertanyaannya sekarang apakah kita lantas diam saja menghadapi “musim/cuaca” yg sedang berlangsung di negeri kita ini, yang muskil untuk kita takwilkan?

Sebisa-bisanya dengan bekal sejimpit ilmu mininal jika belum bisa membuat “cuaca”, yang bisa kita lakukan dalam lingkaran kita adalah bersama-sama membuat “rumah kaca”. Walaupun kecil namun di dalam rumah kaca itu semoga cuacanya tertata dan yang tumbuh adalah benih-benih yang benar-benar bagus.

Karenanya mari bersama-sama sinau bareng, melingkar dalam rutinan Sanggar Kedirian, bersama-sama belajar angon mongso, belajar memperkokoh kuda-kuda untuk menghadapi dan mempersiapkan segala hal yang terjadi. Bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk kita, anak kita, istri kita, keluarga kita dan lingkaran-lingkaran kecil di sekeliling kita.

Continue reading Angon Mongso