Pendidikan yang Mendidik

 


Kehidupan terus bergulir, tak berhenti, hingga tercipta skema jalur regenerasi. Begitupun jalur pendidikan. Pendidikan anak tercipta karena pemahaman dan pengalaman orang tua. Mempersiapkan generasi anaknya agar bisa lebih terampil dan mudah dalam berkehidupan. Inilah cikal bakal pendidikan formal.

Setiap orang tua tentu tidak memiliki keterampilan di semua bidang sehingga muncullah ide pendidikan dengan keterampilan tertentu. Meluasnya interaksi masyarakat melahirkan pendidikan formal seperti yang sekarang kita kenal.

Pendidikan pondok pesantren sebagai pendidikan semi-formal merupakan pendidikan yang tidak melupakan orang tua sebagai acuan awal pendidikan. Lembaga ini menerapkan pendekatan-pendekatan emosi. Interaksi guru dan murid menjadi lebih mudah dalam berbagi ilmu seperti orang tua dan anaknya. Namanya pondok pesantren syaratnya ya harus mondok/bermukim.

Pendidikan formal yang basisnya memposisikan pendidik hanya sebagai penyampai mulai mengikis metode pendidikan orang tua-anak dan merubah alur regenerasi pendidikan. Pendidikan yang awalnya mencakup berbagai lini mengerucut hanya beberapa saja. Tujuannya berubah menjadi urusan materi saja. Pengetahuan tidak membuahkan perbaikan perilaku. Maka seperti inilah warna pendidikan kita.

Kesimpulanya, monggo kita beteti dulu kemanusiaan kita. Baik sebagai orang tua ataupun sebagai penggagas pendidikan umum. Agar generasi kita tak hilang kemanusiaannya. (Fajar)

Continue reading Pendidikan yang Mendidik

Wayahe Moco

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian, Malam Sabtu Legi 10 Mei 2019


Kurang lebih dua tahun lalu dalam rutinan Sanggar Kedirian pernah membahas tema “Maos Ngaos Losss”. Paragraf pertama dalam pambuko tema tersebut begini: Selama masih ada kehidupan, selama itu pula kita akan tetap dihadapkan dengan kode-kode kehidupan. Tuhan telah membentangkan kode-kode-Nya di keluasan semesta. Kode-kode dalam Al-quran tekstual maupun yang kontekstual. Kode-kode inilah yang harus kita perjuangkan untuk dipahami, sebagai peta dan kompas penunjuk arah agar selamat menuju kepulangan yang sejati. Mengingat pentingnya belajar memahami kode-kode ini, Tuhan pun menganjurkan untuk iqra’ (bacalah) dalam firman-Nya yang pertama kali.

Lhadalah, ternyata ada banyak hal yang sudah dibahas pada tema terdahulu. Seperti membaca kode-kode Tuhan, baik yang tekstual maupun yang kontekstual, kemudian menghikmahinya sebagai penunjuk menuju ilaihi rajiun, dan masih banyak lagi. Lantas, masih relevankah tema “Wayae Moco” ini untuk kita bahas (lagi)?

Rasa-rasanya kok masih perlu. Kurang lebih sama seperti adzan yang terus menerus dikumandangkan tiap memasuki waktu sholat, seperti itu juga pentingnya pembahasan tema kali ini. Mungkin kita lupa hasil pembahasan terdahulu atau belum sempat melingkar bareng sedulur-sedulur Sanggar Kedirian. Atau jangan-jangan selama ini kita mengalami fenomena “salah baca” yang sempat disinggung Mbah Nun dalam tulisannya “Tak Kunjung Lulus Iqra”.

Mumpung tagline Sanggar Kedirian adalah “Perjalanan Diri Mengenal Diri” alangkah baiknya jika menyelam lebih dalam lagi untuk menemukan kode-kode atau rahasia Al-quran dalam diri kita. Sebagaimana para leluhur yang menemukan Al-quran di dalam dirinya, yang merasakan bahwa Al-quran adalah bagian alamiah dari dirinya, atau dirinya adalah bagian substansial dari Al-quran.

Sebab hal itu berbanding terbalik dengan metode yang selama ini kita-sebagai manusia modern-terapkan. Kita biasanya memandang dan menempatkan Al-quran sebagai bagian terpisah dari diri kita. Al-quran hanyalah sebatas obyek kajian ilmiah yang terus menerus dieksplorasi muatan ilmunya tanpa harus terbebani untuk mengamalkannya.

Monggo, sareng-sareng kita rembug bersama dalam rutinan malam ini.

Continue reading Wayahe Moco