Mahameru

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian 10 Desember 2021

Tema ini lahir sebagai respon atas beredarnya video erupsi Gunung Semeru yang viral beberapa hari lalu. Banyak dari kita yang tidak percaya dan bertanya mengapa sebelumnya tidak ada pemberitahuan dari BMKG? Apakah alat pendeteksi erupsinya benar-benar rusak atau murni keteledoran pihak BMKG? 

Sebenarnya pertanyaan seperti itu tidak penting-penting amat. Sebab mau dijawab selogis dan seilmiah mungkin, kita yang jauh dari lokasi kejadian tidak akan pernah tahu kebenarannya. Justru yang seharusnya kita ketahui ialah bagaimana membaca pertanda alam supaya kejadian seperti kemarin bisa diminimalisir dampaknya.

Soal membaca pertanda alam seperti itu, kita yang mengaku sebagai manusia modern paling beradab jelas tidak bisa dibandingkan dengan manusia kuno macam mbah-mbahane dewe. Hanya dengan niteni gelagat hewan-hewan yang mulai resah, suaranya saling bersahutan tak karuan, hingga secara berduyun-duyun turun gunung, mereka tahu bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja. 

Itu hanya sebagian kecil contoh membaca pertanda alam. Bagi yang tahu tanda-tanda lainnya bisa di-share agar menjadi bahan rembukan bersama. Atau barangkali ada yang mempunyai sudut pandang penghakiman ala-ala Islam Kaffah yang selalu mengaitkan gejala alam dengan murka Tuhan, silakan. Justru semakin menambah keluasan cakrawala pandang kita yang selama ini hanya mengenal Rahman-Rahim namun kurang familiar dengan Jabbar-Mutakabbir, Hasib dan Muntaqim. 

Juga jangan lupakan bahwa nama lain Semeru ialah Mahameru. Maha adalah ungkapan untuk menggambarkan ketakterhinggaan, keagungan. Sementara meru ialah tempat suci persemayaman dewa. Secara harfiah bisa diartikan sebagai pusat keagungan nan suci. Jangan-jangan erupsi kemarin yang mengagetkan itu tanpa disadari adalah karena ulah kita sendiri yang sudah mengotori salah satu tempat suci milik-Nya? Monggo dirembuk sareng-sareng dalam rutinan Sanggar Kedirian kali ini.

Continue reading Mahameru

SAWO (Sawwu Shufufakum)

Pambuko rutinan Sanggar Kedirian 5 November 2021

Belajar berjamaah, meneguhkan niat, memperbaiki segala kekurangan diri lalu merapatkan barisan membentuk barikade pasukan segelar sepapan. Mau pilih formasi yang mana? Supit urang, Garuda Nglayang, Wukir Jaladari atau Cakra Byuha? Monggo kerso, bebas dan terukur.


Disisi lain, hampir mirip seperti Pohon Sawo yang ditanam oleh para pengikut Pangeran Diponegoro dulu dengan nilai falsafah dan simbolisme yang tinggi, Ijasah Ikhlakul A'da' dari Mbah Nun untuk jamaah Maiyah juga sebuah simbolisme layaknya gaman-pusaka doa sebagai momentum awal penggemblengan diri, mematangkan karakter untuk menjadi individu yang lebih tangguh. Karena tidak ada musuh yang lebih dulu kita taklukan selain hawa nafsu kita. Selesai dengan diri kita sendiri.



Dalam sebuah riwayat Kanjeng Nabi nate dawuh: "Jihad paling utama adalah jihad melawan hawa nafsu diri sendiri."


Semangat untuk selalu memperbaiki diri ini yang nantinya diharapkan mampu membentuk landasan kesadaran "positioning", pondasi kesadaran "berani menjadi" dan sebagai "entry point" perjumpaan-perjumpaan dengan nilai-nilai kesadaran lain yang tentunya sesuai dengan "lelaku" masing-masing Jamaah Maiyah.


Jadi mari bersama-sama berbenah diri sebelum seruan “Sawwu Shufufakum" tiba. Sehingga nantinya dengan suara lantang dan tanpa rasa gamang kita siap menyambutnya: "Sami'na wa ato'na".


Continue reading SAWO (Sawwu Shufufakum)

Blokosutho in Love

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian 1 Oktober 2021

Pada Sanggar Kedirian edisi sebelumnya kita sudah sinau bareng tentang al-Qur'an, kesabaran dan keselarasan hati. Masing-masing dimensi tema itu memiliki ruang dan waktunya sendiri, memiliki pemahaman detail dan presisi yang tepat untuk diletakkan pada kalimat yang juga tepat.

Dalam perjalanan diri ini, kita bersama mencoba menyelami makna blokosutho. Apa sebenarnya maksud dari kata “blokosutho” atau “apa adanya” ini. Ada yang memiliki pendapat bahwa blokosutho adalah kejujuran sikap antara perkataan dan perbuatan. Ada juga yang memiliki pendapat bahwa blokosutho adalah menyampaikan informasi secara blak-blakan sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Jika A maka sampaikanlah A, jika B maka sampaikanlah B. Orang Islam sudah tidak asing lagi mendengar ungkapan "qulil haqqo walau kaana murron", katakanlah yang benar (jujur) meskipun itu pahit. Namun dalam hal ini jika kita linear cara berpikirnya bisa jadi yang terjadi adalah ketidakharmonisan. Lantas bagaimanakah yang mesti diterapkan? 

Kurang lebih dua tahun kita merasakan apa yang oleh seluruh penduduk bumi alami. Bercermin pada kebijakan pemerintah hampir seluruh regulasi yang pemerintah atur sepertinya belum menunjukkan adanya kesatuan pendapat, manajemen, dan langkah dalam menghadapi perkembangan situasi pandemi ini. Apakah kurang blokosutho informasi ataukah ada hal lain?

Jika dirasakan lebih dalam, apa-apa yang berlangsung di Sanggar Kedirian bisa dipandang sebagai proses transendensi perjalanan diri. Perjalanan bukan dalam arti menjauhkan diri dari dunia menuju ke akhirat, melainkan perjalanan dalam arti "mblokosutho” diri kepada kekuatan di luar diri kita yang menguasai hidup kita, yaitu Allah Swt. Suatu sikap yang berbanding terbalik dengan sikap menutup diri, entah karena kesempitan ilmu, prasangka buruk, dan sikap negatif lainnya.

Sebagai penanda, penerapan blokosutho sangat cetho dalam praktik majelis ilmu di Sanggar Kedirian. Sinau Bareng di Sanggar Kedirian tidak dapat dikatakan semata-mata sebagai pengajian dalam pengertian sempit, sebagaimana misal menempatkan satu figur sebagai titik pusat, sementara audiens lain sebatas pendengar-pasif. Justru di Sanggar Kedirian hubungan antara pembicara dan pendengar berpola dialogis, yakni tiap orang menjadi subjek-aktif silih berganti untuk sama-sama tumbuh dan belajar secara bersama. Selain itu, bukti keterbukaan forum Sanggar Kedirian adalah siap menerima respon dari mana saja.

Blokosutho in Love, itulah tema yang diangkat pada Sanggar Kedirian edisi Safar 1443 H. Apa maksudnya? Apa tujuan tema itu diangkat? Memang paradoks, blokosutho kok dijadikan tema? Tapi orang Maiyah tidak rumit dalam membaca tema. Orang Maiyah tidak pernah merasa rugi. Banyak hal yang didapatnya. Anggap saja tema hanya pijakan awal. Maiyah menawarkan banyak khasanah ilmu yang bisa dibawa pulang sebagai bekal.

Continue reading Blokosutho in Love

Sendhen Qur'an

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian 27 Agustus 2021

Sendhen, bersandar, padanan katanya dalam bahasa arab ialah sanad, yang juga bisa diartikan sandaran. Kegiatan bersandar biasanya dilakukan saat kita merasa lelah, tak berdaya. Namun ketidakberdayaan akibat pandemi ini justru semakin membuat kita jauh dari al-Quran. 

Buktinya, coba tanyakan pada diri anda masing-masing. Jika merasa jauh berarti benar dugaan saya. Namun jika merasa dekat, jangan-jangan anda sedang terkena salah satu penyakit hati yaitu 'ujub, membanggakan diri sendiri.

Imam al-Ghazali menyebut 'ujub sebagai penyakit kronis. Kepada dirinya sendiri, pengidap penyakit ini merasa mulia dan dan besar diri, sementara kepada orang lain ada kecenderungan untuk meremehkan dan merendahkan.Untuk mengobati penyakit hati macam 'ujub itu, orang Jawa zaman dahulu membuat ramuan khusus yang dikumpulkan dalam syi'iran Tombo Ati.

"Tombo ati iku ana limang perkara" "Kaping pisan moco qur'an sak maknane" "Kaping pindo sholat wengi lakonono" "Kaping telu wongkang sholeh kumpulono"

"Kaping papat weteng siro kudu luwe" "Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe" "Salah sawijine sopo biso ngelakoni" "Insya Allah Gusti Pengeran ngijabahi"

Nah, pertanyaannya, mengapa obat penyakit hati yang pertama bukan sholat malam atau berkumpul dengan sholihin atau dzikir bermunajat atau menahan lapar namun justru moco qur'an sak maknane? Apakah itu hanya sekedar urut-urutan untuk menyeimbangkan rima atau ada hierarki pemaknaan di dalamnya? 

Di tengah situasi yang tidak pasti, beredar banyak informasi yang tidak jelas antara  kebenarannya dan kesalahannya. Maka manusia perlu rujukan informasi yang dipastikan kebenarannya. Apakah itu?

Mungkin itu bisa menjadi pemantik awal diskusi rutinan ini. Monggo hadir dalam rutinan Sanggar Kedirian, pada Jumat malam Sabtu Legi 27 Agustus 2021 di Kampus Tribakti Kota Kediri, mulai pukul 20.30 WIB.

Continue reading Sendhen Qur'an

Gak Bar-Bar..!!, Sabaaar..?!

Pambuko rutinan Sanggar Kedirian 23 Juli 2021


Berduyun-duyun sejumlah orang, belasan, puluhan namun belum pernah hingga berjumlah hingga ratusan orang duduk melingkar sambil ngopi, tertawa, bergembira. Ada pula yang sambil ngudud namun akan dimatikan batangnya ketika saatnya sholawatan dan wiridan. Semua hanyut dalam kekhusyukan kerinduan. Itulah gambaran suasana Sinau Bareng di Sanggar Kedirian, salah satu Majelis Maiyah yang telah diselenggarakan hampir satu dekade.


Berawal dari segelintir orang, kemudian belasan hingga kini mencapai puluhan. Di setiap malam Sabtu Legi bersama duduk melingkar, bertukar pikiran, berbagi pengetahuan membunuh kesombongan ego intelektual, tak ada yang merasa lebih tahu, tak ada yang dianggap paling dungu, semua berproses mencari kebenaran di dalam kesabaran, bukannya saling tuding menyesat-sesatkan pandangan.


Tak mudah menjaga keberlangsungan forum Sinau Bareng ini. Keswadayaan bersama membangun kesadaran organisme yang terus menerus meniti kesabaran untuk tidak tergoda memadatkan dirinya menjadi suatu identitas komunal tertentu, apakah itu organisasi massa (ormas), perkumpulan, yayasan, perguruan, atau bentukan-bentukan lain. Di sini tampak bahwa kesabaran yang ditempuh Maiyah tidak berarti kelambanan atau stagnasi dalam geraknya, bahkan di dalamnya secara personal berlangsung pusaran yang terus menerus nggiser. Namun demikian, sejak adanya pandemi Covid-19-yang sudah berlangsung kurang lebih 16 bulan hingga entah sampai kapan hal ini akan berlangsung-terjadi dampak kepada pola kehidupan kita bahkan juga mungkin pada pendapatan kita dan banyak hal lain yang mungkin kita mengalami apa yang disebut sebagai kekacauan batin dan pikiran. Baik dari kebijakan pejabatnya, kebenaran informasinya, kepentingan pribadi-pribadi manusianya dan segala macam hal yang terkesan tidak becus dan serius pengelolaannya. 


Dari kerangka itulah bagaimana kita saling menguatkan batin agar tidak terlibat dalam kekacauan ini? Meskipun dalam keadaan yang seperti ini, adakah kita menemukan jawaban terhadap taddaburan kita selama ini?


Mbah Nun pernah menyinggung idiom ”La'ibun wa lahwun" dalam Surat al-An'am ayat 32, “Wa mal hayatud dunya illa la'ibun wa lahwun, walad darul akhiratu khairul lillazdiina yattaquun, afalaa ta'qiluun.” Artinya: ”Dan setiap kehidupan yang ada di dunia ini tiada lain kecuali permainan dan senda gurau, dan sungguh akhirat adalah tempat yang terbaik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” Pendek kata, Mbah Nun mengingatkan bahwa jauh-jauh hari Gusti Allah sudah memperingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah permainan, tinggal kita mampu untuk memahaminya atau tidak. Memangnya kalau sudah paham lantas mau bagaimana? Nah itulah salah satu pertanyaannya. Barangkali bisa dijadikan sebagai bahan pemantik diskusi rutinan Sanggar Kedirian malam ini. Monggo...


Continue reading Gak Bar-Bar..!!, Sabaaar..?!

Selaras

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian 18 Juni 2021

Selaras merupakan konsep penting dalam kehidupan manusia. Selaras adalah perpaduan antara yang baik dan buruk. Terkadang, kita tidak menyadari banyak hal negatif yang melekat pada diri kita sendiri. Bagaimana kita bisa mengubah hal negatif tersebut menjadi positif?

Proses untuk menselaraskan hal negatif agar bergerak menjadi positif akan berdampak langsung pada diri kita. Mulai dari menselaraskan tubuh, menyelaraskan pikiran, hingga memastikan bahwa tubuh dan pikiran selaras, hal ini berdampak positif pada kesehatan.

Menselaraskan tubuh dan pikiran dapat mempercepat keberhasilan dan membuat hidup terasa lebih ringan. Tubuh perlu di selaraskan, begitu juga dengan rumah (alam) yang juga perlu diselaraskan. Kita dapat menggunakan amalan-amalan tertentu dan langkah-langkah lainnya untuk mencapai keselarasan tersebut.

Menerima baik dan buruk serta menyelaraskannya juga berkaitan dengan agama. Oleh karena itu, jangan sampai melewatkan kesempatan untuk memahami dan memperbaiki diri kita. Inilah saat yang tepat untuk mengambil langkah dalam mengembangkan keselarasan diri.

Monggo dulur hadir dalam acara rutinan Sanggar Kedirian (SK) pada bulan ini. Di acara tersebut, kita akan mendalami lebih dalam konsep keselarasan ini dan bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Bersama-sama, kita dapat mengubah hal negatif menjadi positif, meningkatkan kesehatan, dan meraih kesuksesan.
Continue reading Selaras

Obor Paseduluran

Review Tema Sanggar Kedirian 20 Januari 2017



Terdapat beberapa istilah dalam paseduluran, semisal ungkapan sedulur sinarawedi, kadang sentana, sedulur tunggal bayu, kadang tunggal wredha, trah sawadhah. Istilah lain yang diambil dari bahasa Arab: ukhuwwah basyariyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah islamiyah sebagai ungkapan agar selalu bersatu bagai tebu setagon yaitu buah tebu yang terikat oleh klaras daun tebu. Dalam membina persaudaraan tidak perlu memandang perbedaan karena sebenarnya perbedaan itu memberi manfaat besar dalam mengikat paseduluran yang sebenarnya.


Paseduluran bila diurai berakar pada wejangan lur yang artinya mencabut dengan mudah, kependekan dari luhur yang berarti mulia. Paseduluran dapat dimaknai sebuah keinginan mencapai derajat mulia walaupun harus merelakan keberadaan yang dimiliki terlepas. Melepas sifat adigang, adigung dan adiguna. Tidak peduli disebut bathang lelaku (seperti mayat berjalan, orang yang tidak bercita-cita tinggi) karena orang kebanyakan melihat bau kapine, orang terdekat sajalah yang dijadikan mitra.


Paseduluran dalam konteks basyariyah atau kemanusiaan sebagai kelanjutan wawasan wathaniyah, berbangsa dan bernegara yang sapadan. Berdasarkan QS. al-Hujurat: 13, manusia mempunyai kedudukan yang sama di bumi. Karenanya harus ngrakit paseduluran, bersahabat dan menjunjung tinggi kesamaan derajat, bahwa manusia adalah trah sawadhah dari Nabi Adam a.s. dan Ibu Hawa. Dalam berilmu pun mereka tunggal bayu yang menghormati kadang wredha yang mengajari kita berbagai pengetahuan.


Di awal perjumpaan, paseduluran merupakan wujud kesamaan hati dan keinginan. Saat di tengah perjalanan, jika terjadi perbedaan dalam wawasan maka segera dilupakan. Paribasan gemblung jinurung edan kewarisan, melakukan sesuatu yang tidak sesuai aturan kebanyakan orang, tetapi berhasil meski dibilang tidak umum. 


Apabila sudah hampir sampai di akhir perjalanan, paseduluran dibangun dengan sesanti dicacad ora gela dielem ora muyeng. Api paseduluran dibangun dengan prasasti yang ditatah dalam hati: walaupun dibuka aibnya tidak merasa sakit hati. Bukan karena tidak punya perasaan tetapi karena menghormati persaudaraan. Sebaliknya tidak akan merasa berbangga hati apabila dipuji-puji apalagi sampai muyeng, lupa diri.





*Selama Ramadan, rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me- review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul 'Arifin.


Continue reading Obor Paseduluran

Nol

18 Mei 2020

Review
Tema Sanggar Kedirian 22 September 2017

Kondisi kulminasi (titik tertinggi) dan kondisi antiklimaks (titik terendah) menyadarkan kita bahwa tiada lagi kekuatan yang kita miliki. Kita juga menjadi sadar bahwa kekuatan yang kita miliki sangatlah terbatas. Kekuatan manusia atau pun makhluk lainnya dari tidak ada menjadi ada kemudian tidak ada lagi.

Ketika kita dalam kondisi di titik terendah tentu ingin mendaki ke titik yang lebih tinggi. Namun, ketika sampai di titik yang paling tinggi mau tak mau harus kembali lagi menuruni titik yang lebih rendah. Di sini ada sebuah tanda tanya besar. Sesungguhnya kekuatan itu ada di mana? Ketika di bawah atau di atas?

Saat akan mendaki, tenaga dalam kondisi penuh karena suplai mudah didapat. Begitu juga saat akan menurun, tenaga juga penuh karena suplai gravitasi. Di mana letak perbedaan tenaga antara di titik terendah dan di titik tertinggi?

Di titik keduanya mampu karena serba bantuan dari-Nya. Berujung-pangkal pada kelelahan, berawal-akhir dengan istirahat. Dari lamunan itu, muncul kesadaran kenapa firman pertama-Nya menasihatkan agar mengawali dengan membaca Asma-Nya bila hendak membaca, mendaki dan menggali alam manusia.

Asma itu secara global dikenal dengan bacaan Basmalah dengan lafaz bi ismi Allah al-Rahman al-Rahim mengandung tiga Asmaul Husna, nama utama dan terpuji milik Allah. Basmalah terdiri dari tiga alif, menandakan adanya ahadiyah yang memonopoli segala urusan dan kebutuhan makhluk. Semua sembah dan puji tertuju pada satu tempat yaitu kepada Zat sejati yang menggerakkan zat-zat milik makhluk, mulai dari unsur zat tunggal hingga bentukan berupa campuran dan senyawa yang menyusun tubuh makhluk.

Nama utama Allah itu ketiganya diawali dengan huruf alif. Disebut alif dzat al-Wahid yang dalam ilmu makrifat disebut banyu nur alif. Bahwa segala makhluk tercipta karena air, dalam setiap sesi kegiatannya selalu membutuhkan air. Maka harus menyadari adanya banyu nur alif yang meliputi langit dan bumi. Air langit menghidupi makhluk di bumi dan air bumi menghidupi makhluk di laut. Di bawah kuasa Zat yang wujud sendiri tanpa ada yang mewujudkan, Zat yang hidup sendiri tanpa ada yang menghidupkan (qiyamuhu binafsihi).

Genggaman Tuhan dilambangkan dengan huruf ba’, artinya dengan kehendak Allah segala sesuatu terjadi. Dalam ilmu makrifat disebut sebagai sifat sejatinya alam. Bahwa diciptakannya Nabi Muhammad Saw. dengan gelar Nur Allah–biji atau asal dari semua makhluk–sebagai wasilah diciptakannya alam ini. Alif dan ba’ pada Basmalah merupakan pangkal kehidupan, pangkal tenaga, pangkal upaya dan pangkal keberhasilan setiap makhluk baik yang mempunyai insting maupun yang mempunyai akting. Adanya Nur Allah dikarenakan Gustialah akan menunjukkan kepada manusia sekaligus memberikan contoh kepadanya bahwa Gustialah itu Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu yang tercipta.

Bagi makhluk yang berakting (manusia), ketika ia dipasrahi sebagai jawata ing ngarcapada, ia berlaku seolah menjadi tuhan kecil. Di muka bumi ia mengatur kehidupan. Bahkan ia berani merubah pola hidup makhluk yang dikaruniai insting (hewan dan tumbuhan) dengan temuan ilmu rekayasa genetika. Berani memotong siklus dalam sebuah ekosistem dengan mengelabuhi makhluk berinsting melalui inseminasi buatan, media vegetatif sampai dengan membuat biosfer baru demi kepentingan memunculkan varietas pengganti yang terkadang merubah pola hidup makhluk lainnya. Saat kreasinya (rekayasa genetika dll.) menemui kebuntuan, yang dilakukan adalah memulai lagi dari nol.

Usaha dan upaya terdahulu yang menemui kebuntuan seolah dilupakan ketika memulai lagi usahanya dari nol. Tidak menyadari bahwa setiap makhluk mempunyai ketergantungan dengan lingkungannya, baik lingkungan “biotik maupun abiotik”–dalam tanda petik karena sebenarnya semua makhluk mempunyai kehidupan.

Secara lahir, gejala dan akibat perubahan alam seperti pengembangan daya, cipta, rasa dan karsa manusia merupakan penyikapan perputaran kehidupan. Sebuah temuan baru terkadang merupakan temuan yang sudah lama ada. Seperti halnya mode pakaian yang kembali ke nol. Bahkan ada yang bilang, “Simpan pakaian kita sekarang, besok akan jadi modern.” Jangan malu dengan apa yang kita miliki sekarang. Jangan malu dengan pekerjaan dan sarana hidup lain milik kita. Elek elek duwek dhewek kita perjuangkan dari nol atau mungkin dari min dengan segala kemampuan yang kita miliki. Biarkan dibilang kuno toh pada saatnya nanti akan jadi modern dengan sendirinya.

Setelah mempelajari dan memperhatikan (iqro’ – istiqro’) dengan fenomena alam yang seolah selalu berbalik arah, mestinya kita bangga menjadi orang yang nJawani dengan sikap selalu menjiwai terhadap berbagai peristiwa. Kita mempunyai bebasan lengkap untuk menentukan sikap seperti sangkan paraning dumadi, asal usul kejadian. Bumi asalnya tidak ada, manusia asalnya tidak ada, langit dulunya juga tidak ada lalu diadakanlah Nur Muhammad sebagai wasilah alam. Kelak, semua akan kembali tidak ada, kembali ke-Nol.

____________________________

*Selama Ramadan, rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me-review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul ‘Arifin.

Continue reading Nol

Barok-ah Kopi-kiran

Review Tema Rutinan Sanggar Kedirian 13 Juli 2017



Teman-teman Sanggar Kedirian memang sangar, memilih judul seperti di atas. Mencari teman yang tidak tampak untuk diajak berpikir. Kopi dan rokok.


Berkaitan dengan kopi ternyata mengandung keberkahan yang besar di sana. Tentu bagi yang lambungnya bermasalah bersedia merelakan untuk orang lain. Siapkan kopi murni. Jangan kopi jitu, kopine siji jagunge pitu . Guna mencari berkah di dalamnya.


Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas menyampaikan bahwa membuat kopi panas dapat mengusir jin dari dalam rumah


وكان الحبيب أبو بكر بن عبد الله العطاس يقول : إن المكان الذي يُترك خالياً يسكنون فيه الجن ، والمكان الذي تفعل به القهوة لا يسكنونه الجن ولا يقربونه.


Bahwasanya al-Habib Abu Bakar bin Abdillah al-Attas berkata, "Sesungguhnya tempat rumah kalau ditinggalkan dalam keadaan sepi/kosong maka para jin akan menempatinya. Sedangkan rumah/suatu tempat yang mana di situ biasa membuat hidangan minuman kopi, maka para jin tidak akan bisa menempatinya dan tidak akan bisa mendekat/mengganggu."



Sumber Kitab Tadzirunnas, hal. 177. Dalam Tarikh Ibnu Toyyib dikatakan:


يا قهوة تذهب هم الفتى # انت لحاوى العلم نعم المراد

شراب اهل الله فيه الشفا # لطالب الحكمة بين العباد

حرمها الله على جاهل # يقول بحرمتها بالعناد


"Kopi adalah penghilang kesusahan pemuda, senikmat-nikmatnya keinginan bagi engkau yang sedang mencari Ilmu"

"Kopi adalah minuman orang yang dekat kepada Allah, di dalamnya ada kesembuhan bagi pencari hikmah di antara manusia"

"Kopi diharamkan bagi orang bodoh yang mengatakan keharamannya dengan keras kepala"



Komentar al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami :


ثم اعلم ايها القلب المكروب أن هذه القهوه قد جعلها اهل الصفاء مجلبة للأسرار مذهبة للأكدار وقد اختلف في حلها اولا وحاصل ما رجحه ابن حجر في شرح

العباب بعد ان ذكر أنها حدثت في اول قرن العاشر . ان للوسائل حكم المقاصد ،فمهما طبخت للخير كانت منه وبالعكس فافهم الأصل 


"Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah bahwa kopi ini telah dijadikan oleh Ahli Shofwah (Orang-Orang yang bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, penghapus kesusahan."



Para ulama berbeda pendapat akan kehalalannya. Namun alhasil yang diunggulkan oleh Ibnu Hajar dalam Kitab Syarhul Ubab setelah penjelasan bahwa asal usul kopi di awal abad kesepuluh hijriyah memandang dari qo'idah "bagi perantara menjadi hukum tujuannya, maka selama kopi ini dimasak untuk kebaikan maka mendapat kebaikannya begitu juga sebaliknya, maka fahami asalnya."



Suatu ketika as-Sayyid Ahmad bin Ali Bahr al-Qadimi berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw. dalam keadaan terjaga. Ia berkata kepada Nabi Saw., “Wahai Rasulullah, aku ingin mendengar hadits darimu tanpa perantara". Rasulullah Saw kemudian Bersabda, “Aku akan memberimu tiga hadits yang salah satunya: Selama bau biji kopi ini masih tercium aromanya di mulut seseorang, maka selama itu pula malaikat akan beristighfar (memintakan ampun) untukmu."


اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى اله واصحا به وسلم





*Selama Ramadhan, Rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me- review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul 'Arifin.


Continue reading Barok-ah Kopi-kiran

Bermaiyah

Review Tema Sanggar Kedirian 19 Juli 2019



Kata maiyah bila diruntut berasal dari bahasa Arab ma’a , bersama atau menyertai, misal akhir QS. al-Baqarah (2):154, "Innallaha ma’as-shobirin" , Allah bersama/menyertai orang-orang yang sabar, setelah sebelumnya berseru agar menjadikan sabar dan salat sebagai senjata meminta pertolongan. Ma’iyah dapat diartikan sebagai faham kebersamaan. Yaitu segolongan orang yang selalu ingin bersama-sama dengan siapa saja, dan melebur dalam bahasa Indonesia menjadi maiyah.


Ber, kata depan yang menunjukkan kepunyaan. Misal berbudi mempunyai arti orang yang mempunyai budi. Bermaiyah dapat diartikan orang yang mempunyai jiwa kebersamaan. Dalam skala besar adalah sekelompok masyarakat yang mendambakan terpeliharanya rasa persatuan dan kesatuan di negeri tercinta, Indonesia.


Alur bermaiyah dimulai dari pribadi yang memperhatikan anggota tubuh yang berbeda fungsi tetapi saling menolong dan membutuhkan. Jika salah satu terasa sakit yang lain ikut merasakan. Lalu keluarga, penghuni sekitar rumah dan akhirnya dengan orang yang sefaham dari berbagai lingkungan. Berbeda nasib tetapi berkeinginan sama, mewujudkan kebersatuan arah “naluri” dalam kebhinekaan hati memayu hayuning bawana . Merindukan kedamaian di setiap sisi kehidupan tak terbatas.


Ngleluri (ngleluhuri) ajaran leluhur memayu hayuning bawana adalah perintah-sebagaimana dalam al-Qashash: 77-tidak berbuat kerusakan di muka bumi serta berusaha berbuat baik dengan siapa dan apa yang ada di bumi semampu mungkin. Tanpa memayu hayuning bawana tidak mungkin mendapat kedamaian.


Melupakan jasa-Nya tidak akan mungkin mendapat kebahagiaan karena kita terus menikmati jasa baik-Nya. Jasa baiknya menumbuhkan bahan makanan dan minuman menjadikan kita mampu memenuhi hasrat makan dan minum. Dengan makan dan minum kita mampu bertahan hidup hingga terjadi dinamisasi dalam kehidupan.


Bermaiyah tidak harus memaksakan kesamaan akidah (Al-Baqarah: 256) tetapi bermaiyah perlu menyamakan kaidah. Kaidah dalam hidup adalah saling tolong dalam berbenah. Dalam berbenah tidak boleh merasa lelah karena akan menimbulkan keputusasaan. Keputusasaan akan menumbuhkan rasa tidak percaya diri. Tidak percaya diri merupakan awal kehancuran hati. Kehancuran hati akan merubah pola pikir. Perubahan pola pikir menjadikan hilangnya kaidah. Hilangnya kaidah menghilangkan daya dan rasa. Bila daya dan rasa hilang rasa bermaiyah pun terhalang. Akhirnya cita-cita kebersamaan tinggal angan-angan. Padahal hidup itu nyata.


Urgensi dari bermaiyah salah satunya menumbuhkan rasa handarbeni terhadap bangsa yang hidup kebanjiran segara madu dan kabegjan kebrayan , anugerah yang tiada tara dengan limpahan sumberdaya alam yang tak ternilai harganya. Bahwa bangsa dan negara Indonesia menjadi “incaran” bangsa lain. Kita mengalami penjajahan dan pendudukan selama hampir empat abad. Seolah belum merdeka meski pascaproklamasi, roda “kehidupan” belum berputar sempurna dan hingga kini ketahanan hidup tidak berubah.


Selama kaidah hidup dipertahankan dalam kebersamaan, kebanjiran segara madu dapat dinikmati. Kenikmatan hidup didapat bila percaya diri dan tidak putus asa. Menyerah boleh tetapi jangan putus asa.





*Selama Ramadhan, Rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me- review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul 'Arifin.


Continue reading Bermaiyah

Keranjang Sampah

Review Tema Sanggar Kedirian 16 Desember 2016



Sampah, orang Jawa memberi istilah wuh berarti sebuah kerendahan. Kependekan dari huwuh (dibaca uwuh). Bila diberi kombinasi mempunyai makna kembali ke diri: "E" wuh, serba bingung, apakah telah sesuai dengan ajaran atau belum; "pake" wuh, merasa tidak pas dengan sikap yang kita tentukan; "ra" wuh, masalah yang disikapi dengan baik dan tidak menyinggung perasaan; ewuh aya, merasa serba salah. Serta kombinasi kata atau kalimat lain yang bermakna agar selalu menunjukkan sikap baik dan berhati-hati terhadap segala sesuatu yang menyangkut diri kita dengan makhluk lain atau terhadap lingkungan.


Sampah mempunyai makna di kehidupan. Adanya sampah menunjukkan kalau kita tidak hidup sendiri. Sampah roti karena kita berhubungan dengan pabrik. Sampah kacang karena kita berhubungan dengan kebun (teringat lirik lagu "Dondong opo Salak" yang berbunyi, "Kacang karo roti, adi diparingi").


Keranjang dalam bahasa Jawa disebut kranjang yaitu alat transportasi berbasis otot untuk memindah atau menyimpan barang sementara waktu. Bila ditulis tersusun atas tiga huruf ( ka - na - ja , 5-2-13). Ka berarti potensi diri, na : dasar, ja : keinginan selalu menang.


Keranjang dibuat dari anyaman bambu ( deling ) berlubang besar bermakna di setiap sesuatu jika ingin mempunyai arti dalam kehidupan, maka harus memperhatikan sisi positif dan sisi negatifnya. Misal kata tatune arang kranjang menunjukkan betapa pandainya menyimpan sebuah kesedihan, memperhalus kalimat yang mengerikan menjadi kalimat yang sejuk. Dalam sebuah peperangan apabila seseorang telah mengalami luka parah terkena senjata biasanya sudah tidak bisa lagi diharapkan kembali sehat dan normal, maka memilih kalimat "tatune arang kranjang" untuk memperhalus agar teman dan keluarganya tidak panik. Bahwa manusia kebanyakan mempunyai watak ingin selalu berada di atas rata-rata sekalipun hidupnya bersandar dengan orang lain, maka sifat ini harus dilepaskan karena potensinya dapat dibaca orang banyak.


Keranjang sampah merupakan gambaran bagaimana kita bersikap seperti bumi. Dalam ilmu Hasta Brata dijelaskan bahwa bumi tidak membeda-bedakan makhluk yang berada di permukaan dan di dalam tubuhnya. Semua diterima dengan tulus karena mereka mempunyai hak bertempat padanya.


Seorang yang berjiwa keranjang sampah selalu melihat potensi yang dimiliki oleh saudaranya, mencari kelebihan diantara kekurangan yang tampak, didaur ulang agar dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Keranjang sampah menggambarkan kerendahan hati, menjauhi sikap gegabah dalam memutuskan tindakan, jangan terburu membuang sesuatu, agar tidak timbul penyesalan. Pecut diseblakna, wis bacut dikapakna ?





*Selama Ramadhan, rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me- review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul 'Arifin.


Continue reading Keranjang Sampah

Nanthing Tulus

Review Tema Rutinan Sanggar Kedirian 25 Januari 2019



Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يَسۡجُدُ لَهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَن فِى ٱلۡأَرۡضِ 


“Tidakkah engkau tahu bahwa siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi bersujud kepada Allah?” (Surat al-Hajj: 18)


Di dalam penggalan ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan bahwa hanya Dia-lah semata yang berhak disembah, dan tiada sekutu bagi-Nya.


Bersujud kepada-Nya semua makhluk yang ada di langit dan di bumi. Yaitu para malaikat yang berada di seluruh penjuru langit, juga para manusia, jin, hewan, tumbuhan, dan seluruh makhluk lainnya yang ada di bumi.


Pengertian sujud di dalam ayat ini, bila dikaitkan dengan makhluk selain manusia, jin, dan malaikat, berarti tunduk mengikuti hukum atau kodrat yang ditentukan oleh Allah untuk mereka, baik mereka melakukannya secara sukarela maupun terpaksa, dan mereka tidak dapat lepas dari ketentuan tersebut.


Sedangkan sujud bagi manusia, jin, dan malaikat, berarti patuh kepada hukum-hukum Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.





*Selama Ramadhan, Rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me- review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul 'Arifin.


Continue reading Nanthing Tulus