We Read-Ing Katresnan

Pambuko rutinan Sanggar Kedirian 5 Maret 2021


Kerinduan yang menggembirakan. Itulah suasana yang tergambar pada setiap malam Sabtu Legi yang diselenggarakan oleh Simpul Sanggar Kedirian. Beragam wajah orang yang merindu, penuh kebahagiaan akan segera terobati karena kembali berjumpa, tentu dengan protokol pemahaman kesehatan masing-masing. Bahkan ada yang saking rindunya dua kali pertemuan dalam hitungan bulan jawapun dirasa masih kurang, sehingga pertemuan-pertemuan dalam lingkaran kecil yang diistilahkan sebagai “ngopi gedhen” bisa saja terjadi baik di warung-warung dan di rumah para penggiat Sanggar Kedirian. Lantas apakah perjumpaan itu sekedar hanya untuk njagong, berdiskusi, berteori dan sekedar rerasan saja? 




Penglihatan Batin


Terus belajar membangun keakraban dengan komunikasi interaktif antar kita yang menitikberatkan pada pendewasaan dan perluasan hikmah dalam mengelaborasi peristiwa yang dialami atau pengalaman antar penggiat nampaknya masih menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Meskipun sementara ini perdebatan dalam mempertahankan kebenaran masih sering terjadi, hal lumrah yang hendaknya kita sadari bersama bahwa dalam menempuh perjalanan kebajikan mestinya selalu berada dalam keseimbangan. Walaupun tak jarang pula dalam memetik pemaknaan hikmah Sinau Bareng itu dapat teraplikasikannya sikap dan perilaku bijaksana serta kearifan dalam bermasyarakatnya masing-masing kita, karena ”Ngelmu kuwi kelakone kanthi laku”.


Meskipun dengan ilmu itu perbedaan akan mudah kita temukan, namun dengan kebijaksanaan kita dapat menemukan kesamaan dari hal yang berbeda-beda. Ada seribu kemungkinan pengetahuan di luar batas logika faktual yang selama ini kita jadikan acuan penglihatan kebenaran, yang patut kita curigai untuk memahami dalam menjangkau analisis kebenaran. 




Maningal, Manekung dan Maneges 


Kali pertama yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasulullah SAW adalah kata Iqra’, bacalah. Sebuah perintah yang sangat tegas, bahwa yang pertama kali harus dilakukan oleh manusia adalah Iqra’. Lantas kita membaca apa? Khasanah ilmu modern mungkin tidak mampu menjangkau pemahaman mengenai hidayah, ilham, atau istilah-istilah warungan-seperti tembus, roso ngeng, krenyeng-krenyeng, krenteg ati, dll. yang kadang muncul di dalam interaksi kehidupan kita sehari-hari. Dalam islam dikenal dengan konsep taqwa sedangkan di Jawa ada istilah eling lan waspada yang dikutip dari salah satu syairnya pujangga Ronggowarsito. Sebuah konsep tentang manusia yang beruntung, yang tidak mudah terbawa arus, untuk selalu berpikir dan waspada terhadap segala apa yang dirasakan oleh pacra indra maupun batin kita. 


Tema Sanggar Kedirian bulan Rajab kali ini bertema We Read-Ing Katresnan. Sebuah tema yang memiliki pemaknaan berlipat jika dibaca dengan ejaan inggris berarti “kita membaca” dengan ejaan Indonesia menjadi “wirid” serta ejaan Jawa pada kata terakhirnya dapat diartikan “berawalnya cinta”. Ada tiga kata kunci dalam tema tersebut yaitu: membaca, wirid dan cinta. Jika dirangkai dalam pengertian; Tidak ada satu pun manusia di dunia yang mengetahui tentang segala hal. Sehingga jika satu diantara kita ada yang mengetahui tentang satu hal, kemudian yang lain mengetahui satu hal yang lain. Akan ada nilai lebih tentang pembacaan makna kehidupan ini.


Terhadap sesuatu hal yang masih bisa dijangkau dengan ilmu dan akal, maka kita gunakan semaksimal mungkin akal pikiran kita untuk memahami hal tersebut untuk menyelesaikan persoalan yang kita hadapi. Tetapi jika dengan ilmu dan akal kita sudah tidak mampu menjangkaunya, maka kita gunakan iman. Caranya bisa dengan menyapa Allah dan Rasulullah untuk meneguhkan pijakan tauhid, sekaligus penyataan cinta kita kepada Rasulullah saw. melalui wirid dan sholawat.


Kegembiraan dalam kebersamaan di Sinau Bareng ini tidak mungkin tidak kita syukuri dan tentu saja terima kasih kita kepada Mbah Kiai Drs. Bustanul Arifin, M.Pd.I., yang selama 9 tahun lebih, sudah menanam benih-benih katresnan-nya guna menemani kita di Sanggar Kedirian dengan sangat setia. Semoga kebersamaan ini masih akan terus berlanjut. Aamiin.


Dengan begitu kita dapat belajar dari beliau bahwa nilai-nilai Maiyah bisa disebarluaskan, ditanam, diinformasikan dimana saja dalam spektrum yang beragam, dalam kondisi masyarakat kita masing-masing. 


Mlaku sak tekan-tekane... nyingkirake apa wae sing katon gemletak ora sak mestine ing pinggir utawa tengah ndalanapa wae sing isa mbebayani lakune liyan... Adalah? (isilah dengan pemaknaanmu sendiri).


Continue reading We Read-Ing Katresnan