Kediri - Temui Diri

Review Tema Sanggar Kedirian 11 November 2016



Di awal perjalanan, kita diberi nasehat-- lambaran urip --berupa sesanti : rila lamun ketaman, ora getun lamun kelangan , rila lan legawa lair terusing batin dan wong urip mung mampir ngombe agar mampu menata hati pada tiap periode hidup dalam perjalanan hidup. Menjadikan diri sebagai pembanding terbaik terhadap keadaan yang kita jalani dengan keadaan orang lain. Melampaui dan meninggalkan kata merga keadaan.


Dalam perjalanan, kebanyakan kalimat tarji’ ( innalillahi wa inna ilaihi raaji'un ) diperuntukkan untuk orang wafat walau makna sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan dan kesempurnaan. Sejalan dengan tarji' , ada ungkapan indah wong urip mung mampir ngombe . Kita hidup ini sekedar mengembalikan stamina di tengah perjalanan yang tiada tahu kapan harus berhenti, hingga datang saat perpisahan di terminal yang dekat rumah-Nya. Kemudian pergi lagi hingga terminal akhir dari setiap perjalanan. Bertemu lagi dengan orang yang dulu pernah kita temui, di padang mahsyar.


Dalam perjalanan itu banyak peristiwa yang kita temui dan membuat hati bergolak untuk segera menyikapi peristiwa itu. Sesuai dengan yang apa kita tahu walaupun sebenarnya kita tidak tahu. Bisa juga membiarkan peristiwa itu dengan “sebuah rasa” berbanding terbalik atau “sebuah rasa” yang lurus dengan peristiwa itu.


Tidak sedikit yang menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran--dengan mengingat al-Mujadilah ayat 9--bahwa semua akan kembali kepada kita dan Yang menciptakan kita. Hingga rila lamun ketaman, ora getun lamun kelangan terhayati, menerima yang diberikan dengan apa adanya serta tidak menyesal jika itu hanya dititipkan dan bukan untuk kita. Yang ada hanyalah sebuah kedamaian dan ketenangan menjalani hidup.


Rila lamun ketaman, ora getun lamun kelangan membentuk diri selalu bahagia. Memiliki tujuan hidup yang lurus dengan tindakan dan sikap sederhana. Menganggap kehidupan dunia sebagai jalan perantara yang mengantar pulang dalam keabadian. Dunia dan daya tariknya disikapi dengan bijaksana. Bila memiliki, bersyukur dan bila tidak memiliki, bersabar melalui usaha yang tiada henti, tidak iri dengan apa yang dimiliki orang lain.


Di akhir perjalanan, jika itu sebuah benda maka akan berpindah ke tempat lain, jika itu milik kita maka akan menjadi milik orang lain, jika itu kita maka akan kembali kepada yang menciptakan kita. Menyikapi dangan rila lan legawa lair terusing batin , bukan dengan PSBB.


Melakukan sesuatu untuk pihak lain, sebagai perantara orang lain menikmati rejeki dengan rasa masing-masing. Melakukan segala sesuatu dengan niat membantu, menolong diri tanpa mengharapkan imbalan, apalagi balasan.


Rila lan legawa lair terusing batin menuju sikap ikhlas tanpa pamrih. Melakukan sesuatu dengan sepenuh hati. Totalitas dan kapasitas terbaik yang dimiliki. Menjalankan kewajiban sesuai tanggung jawab yang dipikulkan. Merasa bahagia bila orang lain mendapat kepuasan. 


Selalu menunjukkan sikap optimis dengan pekerjaan. Yakin bahwa semua kembali kepada diri kita. Mengulum senyum hingga di sana. Menemui diri kita sendiri.






*Selama Ramadan, rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me- review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul 'Arifin.


Continue reading Kediri - Temui Diri

Di Luar Jangkauan

Review Tema Sanggar Kedirian 31 Maret 2017



Jangkauan, keinginan besar yang menimbulkan istilah “luar biasa”. Tiada beda mana gagal dan mana berhasil, manusia hanya asrah jiwa. Tidak ingin hidup tetapi diberi hidup, jalani pola hidup di tengah pengaruh kehidupan.


Luar biasa, manusia bagai bathang kridha ula keli (arti bathang adalah bangkai, kridha bermakna menjalankan sesuatu untuk mencapai sesuatu). Sekalipun mampu mempengaruhi kehidupan tetapi yang dilakukan manusia bukanlah kehendak manusia. Namun, sebuah keinginan agar tetap hidup di antara reaksi keterpaksaan demi kehidupan. Bagai ula keli, hidup di daratan gelap (leng) dan sesekali keluar memenuhi hasrat hidup. Rela jika harus terjebak dalam arus dan terbawa, beralih tempat hidup dengan pola tidak berubah.


Di mana pun bertempat, keinginan manusia sama yaitu mencari kemapanan dan kedamaian sesuai dengan kehendak diri. Berada di antara bayangan "keberhasilan" yang dicapai kelompok tertentu. Padahal asor kilang mungguhing gelas, bahwa sebenarnya isi gayung dan gelas sama, tetapi kelihatan berbeda bila disejajarkan. Kita berkecil hati dan belum merasa hebat daripada orang lain karena melihat fasilitas secara kuantitas, bukan kemanfaatan.


Kita sering menggunakan tronton hanya untuk mengangkat kursi kecil, padahal sudah cukup dibonceng sepeda. Asor kilang mungguhing gelas memberi ajaran agar dalam hidup tidak terlalu muluk-muluk, membanggakan diri sendiri dan sombong. Dicacad ora gela dielem ora muyeng menjadi landasan membentuk keyakinan, bahwa kita pasti berhasil menaklukkan dunia, karena kita adalah jawata hing ngarcapada.


Sebagai raja di bumi hendaknya mengetengahkan sabar dalam sifat dan menyifati sifat dalam sabar sebagai laku utama. Luas bumi yang tidak seluas dunia manusia tentunya menumbuhkan sikap bijaksana.


Belajar dari perang Badar dan perang Uhud dimana kesabaran menjadi kunci keberhasilan kedua perang tersebut. Sungguh di luar jangkauan, perbandingan pasukan tidak seimbang bukan menjadi soal menggapai kemenangan. Tetapi kemenangan bisa berbalik menjadi kekalahan manakala sabar tidak disifati. Sehingga usai perang Uhud Rasul Saw. bersabda, “Kita baru saja melakukan perang kecil dan perang yang lebih besar telah menunggu yaitu perang melawan nafsu."


Maka jadikan sabar dan ibadah kita sebagai wasilah menguasai dunia. Dengan sabar dan ibadah menjadikan mulut lebih luas daripada lautan, mata lebih indah daripada bintang, telinga lebih menjangkau daripada angin, dan jiwa lebih tinggi daripada gunung.






*Selama Ramadan, rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me- review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul 'Arifin.


Continue reading Di Luar Jangkauan

Berguru Kepada Ibrahim

Review Tema Sanggar Kedirian 11 September 2016



Nabi Ibrahin a.s., moyang dari 75.000 diantara 124.000 nabi/rasul yang diutus menuntun umat agar senantiasa berada di jalur yang benar ( shiroth al mustaqiem ) tidak pernah pasrah mengikuti petunjuk dan perintah Allah. Salah seorang dari Ulul Azmi yang meninggalkan kemewahan di Mesir dan memilih hidup di Palestina, serta tidak menolak ketika diperintah Allah menuju Makkah bersama Nabi Ismail, putra sulung beliau. Hal inilah yang kemudian menjadi penguat bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah seorang Rasul, keturunan beliau.


Nabi yang lahir di negeri Babilon saat pemerintahan Raja Namrud itu adalah keturunan Nabi Nuh a.s. melalui jalur Tarih bin Tahur bin Saruj bin Rau’ bin Falij bin Aabir bin Shalih bin Afrakhsyad bin Saam, putera nabi Nuh as. Masa kecil beliau di dalam gua sejak beliau lahir. Maka tatkala dewasa takjub melihat panorama, bintang, bulan, matahari dan ombak-ombak yang perkasa, lebih memberi warna kehidupan dibanding dengan patung-patung yang disembah oleh kaumnya yang dibodohi oleh penguasa, Raja Namrud yang juga mengaku dirinya sebagai tuhan.


Nabi yang bergelar Kholilullah itu meluruskan akidah dengan mendebat sang raja, kenapa tidak menyembah hewan saja yang hidup dari pada patung buatan manusia? Apakah tidak sadar kalau dia tidak mampu membalik arah matahari dari timur ke barat, yang digerakkan oleh Tuhan pemberi hidup manusia dan pencipta seluruh alam? Namrud menjawab bahwa ia pun dapat menghidupkan dan mematikan manusia, halmana disanggah beliau bila itu tidak mematikan tetapi membunuh dengan kejam didasari keserakahan dan ketidakmampuan.


Nabi yang menunjukkan mukjizat tidak mempan dibakar ketika pada akhir perdebatan dimasukkan ke dalam tungku itu, menyadarkan masyarakat sehingga menyembah Allah dan mengajarkan kepada kita bahwa kunci kesuksesan hidup adalah: *sabar* dan *sadar* dengan perjalanan hidup, tidak perlu membandingkan materi dan potensi milik kita dengan kepunyaan orang lain, menjadikan pelajaran terhadap apapun yang kita temui dalam kehidupan, dan mengambil sisi positif pada setiap kekurangan yang kita lihat dan rasakan. "Kembali ke Diri".






*Selama Ramadhan, Rublik Piwedar sanggarkedirian.com akan me- review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul 'Arifin.


Continue reading Berguru Kepada Ibrahim

Sedhelet ber-Totalitas

Review Tema Rutinan Sanggar Kedirian "Sedhelet" 5 Januari 2018 dan "Totalitas" 5 Mei 2017



Wong urip mung mampir ngombe, waktu hanya terbatas, hanya sedhelet sekedar mengembalikan kekuatan di tengah perjalanan mencari kebenaran keberadaan, sambil memikirkan benar tidaknya langkah mencari keberadaan terlebih dahulu daripada kebenaran. Dan, keberadaan kita terbatas oleh waktu dan dapat tergantikan oleh orang lain. Seolah terjaga dari mimpi baru sadar akan pentingnya mencari gayung terlebih dahulu sebelum minum, bila gayung telah didapat minum serasa lebih nikmat karena airnya utuh tidak kocar-kacir sebagaimana dikokop sehingga tidak tersedak, menyesuaikan kemampuan hubungan dan nafas kita. Sambil membawa lebihan air dalam gayung mencari kebenaran keberadaan diri, ternyata setinggi dan semulia keberadaan di mayapada, kita hanyalah seorang hamba yang diperjalankan dari satu tempat ke tempat lain, dan perjalanan itu hanya sedhelet, karena itu harus bersungguh-sungguh mencari kebenaran keberadaan, sebagaimana permainan dalam olah raga selalu memperhatikan waktu untuk mempertahankan kemenangan atau mengejar ketertinggalan, semua dilakukan secara totalitas.


Dalam wejangan kuno, total--dari kata tatal--adalah menata hati ketika hendak tidur, sebagaimana adab tidur dalam kitab Taisirul Khallaq, bahwa sebelum memejamkan mata (karena kita tidak tahu kapan tertidur) agar menyerahkan kepada Gustialah akan keberlanjutan diri dengan nata ati ( nata oleh kebanyakan ditulis "noto" berarti raja atau penguasa hati yang menguasai perasaan) dengan membaca, "Bismika Allahumma ahya wa bismika Allahumma amuut," atau, "Bismika Allahumma ahya wa bika amuut, " lalu menyelipkan wasiat di bawah bantal (nata bantal) dan bila terjaga mengucapkan doa, "Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da idz hadaitana wa ilahin nusyur," sebagai tanda syukur atas karunia Gustialah dan menjadikan bekal melakukan aktifitas secara totalitas dengan sabar ketika keadaan diri sedang di atas maupun di bawah.





*Selama Ramadan, rublik Piwedar sanggarkedirian.com me- review tema rutinan Sanggar Kedirian yang telah lampau. Rublik ini diasuh oleh Kang Bustanul 'Arifin.


Continue reading Sedhelet ber-Totalitas

Kembali ke Setelan Pabrik

Pambuko rutinan Sanggar Kedirian 9 April 2021


Memasuki beberapa hari menjelang bulan Ramadhan 1442 H, Sinau Bareng Sanggar Kedirian kali ini dengan tema Kembali ke Setelan Pabrik, hal ini tak lepas dari sebuah ajakan untuk kita kepo sama diri kita sendiri. Karena ”Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”. Logika pemahamannya, dengan kita mengenali diri sendiri merupakan salah satu jalan mengenal yang sejati Allah SWT.


Belakangan ini kita memang sedang dilanda oleh fanatisme-fanatisme, heroisme golongan yang direproduksi terus-menerus, pembangunan militansi sempit berbenturan dengan militansi golongan lain sehingga yang terkorbankan adalah kehidupan sesrawungan, bebrayan dan komunalitas. Kita mengingat kembali, bahwa sejak dulu manusia Jawa-Nusantara sudah punya istilah empan papan, atau istilah modernnya disebut positioning dan ini adalah inti dari segala manajemen. Setiap hari bahkan setiap detik harus tahu posisi kita dan harus melakukan apa, ini merupakan satu kunci juga agar kita terselamatkan dari fanatisme golongan dengan menyadari bahwa semua versi kebenaran selalu relatif bila datangnya dari manusia.


Dalam ilmu psikologi ketika kita berada di dalam posisi bersedih, patah hati atau galau itu semua melalui proses yang namanya “menolak”, dan ketika kita merubah proses itu dengan “menerima”, selesai masalah. Tentu dengan pertimbangan presisi batas diri masing-masing manusia dan Intinya perjalanan adalah mencari apa yang sejati. Karena sejati tak akan terganti, maka “Kembali ke Setelan Pabrik” adalah konsep perilaku kepasrahan sebagai manusia kepada Allah Swt.


Tentu ini adalah positioning yang diperlukan dalam nilai-nilai perjuangan panjang yang tidak bersifat sementara, namun untuk sesuatu yang abadi. Tahun-tahun ke depan jelas sangat sulit untuk kita prediksi apa yang akan terjadi. Jangankan mengenai peta perpolitikan nasional ataupun bencana kesengajaan internasional bahkan kita tidak tahu mengenai nasib diri kita sendiri. Harapannya, ini tidak menjadikan diri kita pesimistis dalam menghadapi masa depan, namun justru dengan kepasrahan kita kepada Allah Swt semestinya mampu membuat diri kita untuk optimistis menyongsong masa depan dengan cara berusaha mengikuti akhlak Rasulullah menjalani kehidupannya. Bagaimana caranya?



Catatan:

Akan dimulai lebih awal jam 19.30 dengan kirim doa.


Continue reading Kembali ke Setelan Pabrik