Menjalani Lelaku Kehidupan dengan Kesadaran Sami'na wa Atha'na

Reportase Sanggar Kedirian 6 Desember 2019


Saat Mas Sabrang dengan gaya retorika ala filsuf sedang membedah eskalasi kompleksitas yang mesti disadari oleh Simpul Maiyah yang hadir pada Silatnas Maiyah 2019, di Musholla Taman Hutan Joyoboyo, sedulur-sedulur Sanggar Kedirian, tengah menyinauni "Lika-Liku Lelaku". 

Ya, kebetulan rutinan Sanggar Kedirian pada Malam Sabtu Legi 7 Desember 2019 berbarengan dengan Silatnas Maiyah yang diselenggarakan di Semarang. Secara kebetulan juga saat Silatnas Maiyah tengah membahas complexity kahanan saat ini, Pak Bustanul Arifin tengah mentadabburi al Baqarah ayat 284-286-yang intinya adalah Al-Qadir tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Terakhir, satu contoh kebetulan lainnya ialah pada malam hari saat pembahasan lakuning urip seseorang sudah diatur oleh Sang Dalang, esoknya Mbah Nun menambahi, "Anda memasuki kompleksitas dengan trust. Yakni bukan hanya Anda berusaha percaya kepada Allah, tetapi juga bagaimana Anda harus membuktikan bahwa Anda dapat dipercaya oleh Allah." Seolah-olah semua kebetulan tersebut saling berkaitan meski dipisahkan ruang dan waktu. Jangan-jangan, seperti inikah sistem koordinasi organisme Maiyah?

Pertanyaan itu tidak perlu saya jawab di sini. Bagi yang sempat membacanya silahkan merenungkan jawabannya sendiri. Sekarang mari kita lanjutkan kembali reportasenya. Dimulai dengan tanggapan dari beberapa sedulur Sanggar Kedirian.


Kang Zainuri: kalau sudah diniati, maka tidak akan ada lika-liku lagi.

Mas Andri: tidak ada makhluk di dunia ini yang tidak diuji. Semua diuji dengan kapasitasnya masing-masing. Kalau tidak percaya mengapa Kanjeng Nabi sesampainya berjumpa Allah dan Bima setelah bisa masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci disuruh kembali ke dunia lagi? Artinya, tugas kekhalifahan di bumi belum selesai dan tidak boleh ditinggalkan. Semua harus dihadapi meski kadang tak semulus yang kita harapkan.


Seorang sedulur dari Pati: bercerita mengenai lika-liku kehidupannya yang pernah menjadi pemulung.

Kang Lathif: turut urun cerita perjalanan hidupnya hingga sampai aktif rutinan Sanggar Kedirian. Menurutnya, iklim paseduluran yang dibangun di Sanggar Kedirian tidak menganggap rendah orang yang baru masuk. Semua sama dan dianggap seperti saudara sendiri.


Lik Hartono: sebelum menanyakan perbedaan antara lelaku dengan aurad sempat bercerita sedikit mengenai kehidupannya yang sangat berlika-liku. 

Pak Bustanul Arifin kemudian menerangkan arti lelaku-yang tidak sama dengan pengertian kebanyakan orang karena beliau belajar Bahasa Jawa dari wejangan orang tua. Lelaku berasal dari kata laku. Laku berasal dari perkataan "loh itu aku", seperti itulah aku. Setiap orang memiliki kekhasan masing-masing. Ibarat penjahit satu dengan penjahit lainnya yang mempunyai teknik memasang kancing baju yang berbeda. Manakah yang paling benar? Entahlah. Yang penting tujuan dari adanya kancing baju tersampaikan, ya tidak masalah. 


Itu makna laku menurut othak-athik kebahasaan ala Pak Bustanul Arifin. Sementara lelaku secara sosio-culture dapat dimaknai sebagai syarat agar kita dapat melakukan "lakon" dengan baik. Kalau tidak tahu syarat suatu lelaku maka bertanyalah pada yang lebih mengetahui. Di sinilah posisi aurad itu-sebagai salah satu syarat dalam lelaku.

Lebih lanjut, Pak Bustanul Arifin bercerita, "Saya pernah sowan kepada seorang Kiai bersama teman-teman saya. Ada 5 orang dengan kasus yang sama. Diberi aurad yang berbeda-beda. Ada yang diberi aurad puasa 7 hari dengan berbuka tiap harinya berkurang satu kepel nasi. Hari pertama 7 kepel, kedua 6 kepel dan seterusnya. Tiba saatnya saya diberi aurad hanya perintah bersholawat saja. Tetap boleh makan." Kalau tujuannya menggak-menggok, tentu akan bertanya lagi, "Mbah Yai, kenapa tidak seperti teman saya? Seumpama ditambahi masih kuat kok."


Jika kita langsung mantep nglakoni, maka sebenarnya tidak pernah ada lika-liku. Semua yang sudah, yang sekarang, yang belum, dan yang akan kita kerjakan sesungguhnya selalu diberikan petunjuk oleh Allah. Tinggal kita mau atau tidak menjemputnya sembari matur, "Wa qalu sami'na wa atha'na," sendika dawuh, Gusti.

(Zakaria)

Continue reading Menjalani Lelaku Kehidupan dengan Kesadaran Sami'na wa Atha'na

Lika-Liku Lelaku

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian 6 Desember 2019


Duh Gusti mugi paringo ing margi kaleresan||Kados margine manungso kang manggih kanikmatan||Sanes margine manungso kang paduko laknati||

Wirid Duh Gusti yang baru saja kita lantunkan, konon, adalah hasil renungan dari ayat terakhir surat Al-fatihah. Jika setelah ini ada yang mau mengamalkannya setiap tarikan nafas atau setelah shalat atau sekali seumur hidup, itu terserah. Yang pasti, kita membutuhkan hidayah-Nya untuk mengarungi lika-liku lelaku kehidupan. 

Ihdinas shirathal mustaqim... sampai segitunya Allah mengajari makhluk hina ini lewat kalam-Nya. Sebab Allah tahu bahwa shirat yang kita tempuh bukan kaleng-kaleng. Dengan terus membacanya sembari centak-centuk selama lebih dari sekali dalam sehari, barangkali bisa membuat kita tatag meniti shirat-yang tak selamanya mulus; kadang jalanannya rusak, bergelombang; tidak jarang ada kelokan tajam nan curam; tak sekali-duakali menemui pengendara lain yang memaksa kita ke luar jalur. 

Dalam Maiyah kita dibekali pemahaman mengenai sabil, syari', thariq, dan shirat. Sabil itu arah hidup kita; apakah untuk kesia-sian atau beribadah. Jika sudah tahu, kita akan menempuhnya melalui jalan yang disebut syari'. Kadangkala saat fokus menuju tujuan, tak disangka di pinggir jalan kita melihat orang yang kehabisan bensin. Lantas bagaimanakah sikap kita? Jika sumeleh dan menyadari bahwa hal itu adalah dinamika ijtihad dalam menempuh jalan, maka kita sadar dengan konsekuensi thariqah ini. Jika tidak? Entahlah. Di situlah shirat kita diuji; seberapa presisikah kita menempatkan diri dalam perjalanan fana menuju baqa

Atau jangan-jangan kita terlanjur GR-karena beranggapan dengan seringnya bermaiyah secara otomatis membuat kita tidak bingung dengan arah tujuan hidup. Oh...

Continue reading Lika-Liku Lelaku

Seperti Tempe, Manusia Juga Terus Berproses untuk Mengetahui Dirinya

Reportase Rutinan Sanggar Kedirian “Tahu ke-Diri” 1 November 2019


Malam itu, sampai dengan pukul 20.30 WIB yang berkumpul hanya sekitar sepuluh orang. Sebagai penggiat, tentu ada rasa khawatir juga. Bagaimana jika nanti sinau bareng hanya diikuti oleh beberapa orang saja? Meski jumlah orang bukan patokan keberhasilan dan rutinan sinau bareng tetap akan dilaksanakan, namun terlalu sedikit yang datang juga perlu menjadi bahan evaluasi.

Untungnya setengah jam kemudian banyak yang datang berbondong-bondong. Mereka langsung bergabung, melingkar bersama sedulur yang lain. Diskusi pun semakin semarak dan hangat setelah pemanasan “adu dengkul” yang digawangi oleh Kang Har.

Tamu dari Ndalem Pojok turut hadir pada malam itu. Ndalem Pojok pernah menjadi saksi kehidupan Soekarno. Sewaktu kecil beliau pernah hidup di situ. Rumah yang pernah ditempati Soekarno sekarang menjadi situs bersejarah dan menjadi wadah berkegiatan lintas komunitas. 

“Saya menemukan tempat diskusi dimana orang-orangnya rendah hati,” ucap Mas Kusno, selaku perwakilan dari Ndalem Pojok. “Inilah perbedaan sinau bareng dengan diskusi pada umumnya. Di sini tidak ada yang memaksakan kehendaknya.”

“Memang benar. Orang-orangnya rendah hati. Saya harus mesti belajar tahu diri. Belajar mengetahui diri sendiri dulu sebelum mengetahui orang lain,” timpal perwakilan Ahmadiyah yang turut datang bersama Mas Kusno. Ia selalu mengawali dan mengakhiri pendapatnya dengan salam. Barangkali karena ia adalah seorang muballigh Ahmadiyah yang tahu diri. Beliau sadar berbeda dengan yang lain. 


Perbedaan tidak perlu dirisaukan, apalagi sampai dilabeli sesat. Simbah kita mengajarkan untuk menampung semua perbedaan yang ada, kemudian mengeksplorasinya hingga menemukan titik ketersambungannya dengan Tuhan. 

Dan tidak hanya perbedaan saja yang dieksplorasi, kemampuan diri adakalanya juga harus dieksplorasi, begitu dawuh Pak Bustanul Arifin. Tujuannya agar kita tahu ke-diri; artinya tidak hanya sadar kesalahan dan kekurangan melainkan juga sadar dengan potensi yang ada pada diri kita. “Kalau mau tahu diri baca surat Thoha!” Tegas Pak Bustanul Arifin.


Beliau kemudian mengeksplorasi pemaknaan unen-unen “isuk dele sore tempe”. Selama ini rura basa tersebut dikonotasikan negatif. Pak Bustanul Arifin kemudian mengembalikan denotasinya: hidup itu yang diharapkan selalu ada perubahan. Seperti proses kedelai menjadi tempe yang melalui peragian. Ragi, dalam Bahasa Jawa, sama dengan regi, artinya sesuatu yang berharga. Seseorang yang terus-menerus mengolah dirinya akan menjadi berharga. Ibarat kedelai berubah menjadi tempe. Tempe lama-kelamaan juga akan mengalami perubahan menjadi tempe bosok. Seseorang yang sudah berharga akan mengalami fitnah. Maka tempe bosok diolah lagi menjadi sambel tumpang agar kembali bermanfaat. Nah, biasanya sambel tumpang dilauki tahu karena tahu tidak bakal berubah. Di situlah manfaat tahu (ke-diri).

Sekian.

Continue reading Seperti Tempe, Manusia Juga Terus Berproses untuk Mengetahui Dirinya

Tahu ke-Diri

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian 1 November 2019
Mungkin di antara kita, ketika membaca judul tema ‘Tahu ke-Diri” maka yang terbesit di kepala adalah makanan tahu kuliner khas Kediri yang melegendaris hingga kini. Makanan yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utamanya ini, seakan merupakan menu wajib makanan kita sehari-hari. Meskipun tidak salah juga jika apa yang terbesit dari judul tema kali ini adalah sebatas materi berupa makanan khas tadi, namun setidaknya kita tidak berhenti sampai disitu. Bukankah keseluruhan alam semesta ini Allah mempersaksikan diri-Nya kepada setiap hamba-Nya dengan beragam cara dan berbagai peristiwa? Itulah nilai dari peristiwa kehidupan.

Sebelum menyimpulkan dan memetakan segala masalah, kita harus berhati-hati dengan yang namanya alur sebab-akibat. Jangan sampai gara-gara hal tersebut, kita salah identifikasi. Sehingga bekal utama manusia itu bukan ilmu, tetapi tawadhlu’. Harapannya, dengan tema “Tahu ke-Diri” ini minimal kita dapat mengindetifikasi permasalahan sehingga tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Sudahkah kita mencari penyelesaian dari asal-muasal dari bermacam sebab-akibat yang telah kita lalui di kehidupan ini oleh segala macam peristiwa yang terjadi?


Continue reading Tahu ke-Diri

Niti Priksa Lampah II

Pambuko rutinan Sanggar Kedirian 27 September 2019


Ya ki, sinau bareng ya... Kebiasaan kita kan agak serampangan dalam menghimpun informasi. Ambil contoh dengan mudahnya kita menerima informasi dari FB, Twitter, IG, pun WA. Kemudian terlalu terburu-buru memprosesnya; memasukkan ke dalam kotak benar dan salah pada hati dan pikiran kita. Yang sekiranya sesuai dengan angan itulah kebenaran informasi, sementara yang tidak sesuai dengan angan bukan informasi yang kita harapkan.

Dengan segala macam variabel niatan batin para pengunggah informasi, tujuan konten yang ada di media sekiranya perlu diragukan. Ini bukan menyoal kevalidan berita, keaslian gambar dan videonya loh. Jika kita mau teliti sebenarnya banyak sekali kesengajaaan mendistorsi informasi. Misalnya demo yang sedang hangat baru-baru ini. Kita ikut nggrubyug. Dengan mudahnya kita pun ikut melupakan kejadian tempo hari. Kira-kira ada apa?

Di sinilah kiranya kita perlu mempertanyakan motif yang melatarbelakangi tujuan awal informasi itu dikembangkan, kemudian dibaliknya-balik informasi itu apakah tujuan sesungguhnya yang menjadi sebab utama sebelum awalnya dan awal sebelum sebab utamanya. Singkatnya, segala tujuan diadakannya suatu informasi. Sebab, hampir semua informasi yang terkait dengan kenegaraan itu tak sekedar "informasi". Semua sistem atau regulasinya sudah auto participate diluar dugaan kita semua.

Oleh sebab itu unen-unen simbah kita, mirsani klawan teguh tegen, rigen mugen lan tatas titis perlu kita selami agar tidak salah mengambil langkah. Alih-alih memahami informasi yang beredar luas di luaran, memahami diri sendiri wae kita masih gagal. Yang disebut terakhir adalah titik pijak kita untuk memulai tema “Niti Priksa Lampah II”.

Sanggar Kedirian, 27 September 2019 Pukul 20.00 WIB di Taman Hutan Joyoboyo Kediri. (Zakaria)


Continue reading Niti Priksa Lampah II

Maaf, Riyayan-nya di Youtube Saja

Reportase Rutinan Sanggar Kedirian “Niti Priksa Lampah” 23 Agustus 2019

Rutinan sinau bareng yang bertepatan dengan nengeri kelahiran Sanggar Kedirian yang ketujuh sudah berlangsung beberapa bulan lalu. Namun reportasenya baru kukerjakan sekarang. Jadi kalau ada nuansa yang tidak tepat, maafkanlah. Mau bagaimana lagi, saat menulis ini aku mengalami sendiri ngendikane Mas Sabrang soal kata (bahasa) yang mempunyai limitasi.

Acara malam itu benar-benar terlampau memukau untuk dipotret lewat tradisi tulis. Bayangkan; para penggiat bersengaja masani rutinan malam itu sejak jauh-jauh hari; panitia acara sejak sore sudah bersiap-siap, tak sampai satu jam kemudian acaranya dimulai-tumpengan, sholawatan, menyanyikan 3 stanza Indonesia Raya, pencak silat, pembacaan puisi, pemutaran video perjalanan Sanggar Kedirian, dilanjut dengan video dari Mas Sabrang dan Lik Ham- dan semua hal itu terlampau memukau untuk dituliskan, maka, lebih baik langsung menonton video “Niti Priksa Lampah” di channel youtube Sanggar Kedirian. Rasakanlah sendiri riyayan ala Maiyah.

Continue reading Maaf, Riyayan-nya di Youtube Saja

NITI PRIKSA LAMPAH

Pambuko rutinan Sanggar Kedirian, 23 Agustus 2019


Bulan Zulhijah merupakan bulan yang monumental bagi Sanggar Kedirian. Sebab di bulan ini, 3 tahun yang lalu Sanggar Kedirian memasuki edisi pertama yang rutin digelar sampai saat ini. Meskipun sejak tahun 2012 diadakannya Kedirian sudah berkumpul dan duduk melingkar para penggiat Maiyah Kediri hingga saat ini menumbuhkan generasi yang bernama Sanggar Kedirian, yang tetap rutin diselenggarakan setiap malam Sabtu Legi. Sejak awal kebersamaannya, majelis ini memang diniatkan sebagai ruang bagi kalangan siapapun untuk sinau bareng, menumbuhkan kesadaran dan membangun kediriannya sendiri. Sehingga dalam hal ini, subjek utamanya adalah manusianya sendiri bukan eksistensi wadag yang diagungkan.

Berkembangnya jumlah penggiat Maiyah dimana-mana nampaknya menjadi fenomena belakangan ini. Demikian juga yang terjadi di Sanggar Kedirian. Antusiame anak-anak muda yang kita sebut sebagai generasi milenial yang datang ke Sanggar Kedirian semakin terus bertambah. Tentu saja ini merupakan sebuah berkah lain di Sanggar Kedirian. Mereka adalah generasi yang senantiasa dibimbing oleh Allah untuk menerima hidayah berupa ilmu-ilmu yang mereka dapatkan dari berbagai acara Maiyahan, baik mereka dapatkan melalui media sosial maupun acara-acara Maiyahan yang dibersamai oleh Mbah Nun secara langsung. Dan saat mereka merindukan kebersamaan itu, simpul Maiyah lah yang menjadi pengobat rindunya. Dan inilah yang menumbuhkan optimisme masa depan Indonesia. Sebagaimana yang yang disebutkan di Al Quran, ialah Generasi Lima Lima Empat (Tematik Surat Al Maidah [5]: Ayat 54), dimana di situ Allah menggambarkan sifat kaum baru yang Allah mencintainya dan mereka mencintai Allah. Sehingga jangan sampai karunia Allah ini sekedar menjadi euforia belaka.

Sejalan pula edaran dari Koordinator Simpul Maiyah kepada seluruh simpul Maiyah tentang peneguhan kembali niat bermaiyah maka, Sanggar Kedirian mencoba untuk memaknai itu sebagai “Niti Priksa Lampah" yaitu menelaah dan mempelajari langkah kita selama ini. Dengan asumsi pemahaman bahwa subjek utamanya adalah diri kita sendiri. Sesuai dengan semboyan "Perjalanan diri mengenal Diri".

Continue reading NITI PRIKSA LAMPAH

Menemukan Diri Sebagaimana yang Tuhan Inginkan

 


Pada tanggal 17 Juli 2019 kemarin, dalam acara Mocopat Syafaat turut hadir sahabat karib Mbah Nun yaitu Pak Eko Tunas dan Romo Iman Budhi Santosa. Nama yang disebut terakhir kemarin pada acara Kenduri Cinta baru saja menerima Ijazah Maiyah-sebuah penghargaan yang diberikan atas pertimbangan “pelaksanaan kebenaran, kesungguhan, otentisitas, kesetiaan dan keikhlasan kepada diri dan kehidupannya sebagaimana yang Allah SWT niscayakan”.

Poin-poin tersebut masih berkesinambungan dengan tema Mocopat Syafaat malam itu: Mendalami Fadillah dan Otentitas Diri Menuju Cerdas Dunia Cerdas Akhirat. Mungkin dari tema tersebut,  Mbah Nun, khususnya, menginginkan kita sebagai anak cucunya supaya menemukan tujuan hidup beserta hal yang ingin dilakukan. Seandainya belum, teruslah mencari untuk menemukan fadillah serta keotentikan dirimu. Bisa dimulai dengan menemukan dulu kamu sebagai apa, pekerjaanmu apa, serta bakatmu apa.

Banyak hal yang bisa dicatat dari pernyataan narasumber malam itu. Antara lain: temukan dirimu sebagaimana yang Tuhan inginkan. Belajar bisa dengan siapa saja, tapi jangan pernah meniru untuk menjadi seperti mereka. Contohlah burung yang bisa melihat ikan berenang tapi dia tidak bernafsu untuk bisa berenang. Bener durung mesti penersalah durung mesti kalah becik biso kuwalik, makane sing ati-ati.

Juga ada beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh narasumber yang menggambarkan perbedaan realita kehidupan sekarang dengan kehidupan zaman dulu: masih adakah anak perempuan yang menyapu halaman sebelum matahari terbit? Apakah kita masyarakat milenial? Pemburu harta? Dan ingin selalu terkenal?

Mbah Nun sempat berpesan secara khusus agar kita berhati-hati selama lima tahun ke depan, jangan menjadi orang yang gumunan, kagetan, dumehan. 

Kemudian Wirid Wabal dilantunkan.

Bismillahi audzubika ya dzal wabali//bismillahi audzubika ya syadidal ‘iqabi//bismillahi audzubika ya dzal ‘adli wal qhisti//bismillahi shodaqta shodaqta shodaqta shodaqta shodaqta. 

Suasana semakin khusyuk, jamaah menundukkan kepala, seraya bibirnya mengucap, “ya dzal wabal ya dzal wabal ya dzal wabal…”

(Lingga)

Continue reading Menemukan Diri Sebagaimana yang Tuhan Inginkan

Bermaiyah

 


Pambuko rutinan Sanggar Kedirian, malam Sabtu Legi tanggal 19 Juli 2019

Di sebuah pendopo makam waliyullah, obrolan ini terjadi.

“Mas, boleh minta rokok?” tanya seorang pemuda kepada teman ngobrol ngalor-ngidul yang baru dikenalnya.

Monggomonggo. Anggap rokok sendiri saja, Mas,” jawab pemuda yang sedari tadi tidak pernah mencopot pecinya.

“Terima kasih,” tiba-tiba ia bertanya, “Sampean anak Maiyah, ya?”

“Iya. Kok tahu?” 

“Itu, ketahuan dari peci yang Sampean pakai,”

Hoalah, Mas. Tadi dalam hatiku terlanjur geer. Tak kira ngarani cah Maiyah karena hablum minan naas-ku pada Sampean dengan menjadi teman bicara dan memberi rokok sudah baik. Ternyata cuma karena peci yang kupakai ini. Hmmm…” gerutu pemuda berpeci.

“Hehehe, guyon kok, Mas. Biar tidak sepaneng dalam menjalani hidup. Di Maiyah kan juga diajarkan seperti itu,” 

“Lho, sampean kelihatannya tahu banget soal Maiyah. Sering Maiyahan?”

“Cuma pernah sesekali, Mas. Tapi kalau ditanya makna Maiyah yang sebenarnya saya masih mencari alias belum tahu,”

***

Apa sih sebenarnya Maiyah itu?

Mungkin pertanyaan semacam itu pernah mengemuka dalam benak kita. Jawabannya pasti beragam; ada yang mencari makna kata ma’a dulu, kemudian mendasarinya dengan nukilan peristiwa hijrah Kanjeng Nabi yang sempat mampir di dalam gua tsur bersama Abu Bakar; ada juga yang mendasari jawabannya dengan teologi segitiga cinta; bahkan ada yang dengan kepolosannya mengasosiakan maiyah dengan simbol peci bundar berwarna merah-putih sebagaimana ilustrasi cerita di atas.

Lantas jawaban manakah yang paling benar? Entahlah. Semua jawaban itu menggambarkan keotentikan dan kedaulatan masing-masing individu. Juga, di Maiyah, kita diajari bahwa jawaban-jawaban itu sebatas tafsir kebenaran yang belum final. Kebenarannya harus diuji lagi dengan variabel-variabel lain. Seandainya variabelnya sudah habis, belum tentu hal itu benar. Sebab kebenaran hakiki hanya milik Allah, Sang Pemilik Maiyah.

Apakah pambuka sinau bareng ini sudah cukup sebagai pengantar untuk memasuki tema malam ini? Kalau belum, silakan ditambahi dan didiskusikan bersama sebelum menyelam dalam tema: bermaiyah-dengan prefiks (awalan) “ber” sebagai pembentuk verba (kata kerja).

Continue reading Bermaiyah

Ndhedher di Rumah Kedua

 


Bagi saya, Maiyah adalah “rumah kedua”. Rumah yang mempunyai ruangan sangat luas sehingga mampu menampung apapun saja. Saya memandang bahwa masing-masing jamaah Maiyah mempunyai hak prerogratif memegang kunci dan passwordnya, sehingga siapapun ia bisa memasuki rumah tersebut dari segala sisi yang ia sukai.

Hal yang membuat saya seringkali kangen dan betah berlama-lama di rumah ini adalah aktivitas melingkar Sinau Bareng. Karena segala hal yang disampaikan di “Rumah Maiyah” ini bukan merupakan bentuk klaim kebenaran mutlak, bukan pula sesi pengkultusan buah pemikiran yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang harus diamini bersama, akan tetapi intinya lebih pada sesrawungan dalam belajar bersama-sama menikmati proses pencarian kebenaran yang sejati.

Paseduluranasah-asih-asuh, saling memberi rasa aman antara satu dengan lainnya menjadi semen perekat bangunan rumah ini. Maka tak ayal jika dari rumah ini pulalah terinisiasi gerakan-gerakan seperti PPD, Ndeder, Reresik, dll.

Harapan saya semoga “Rumah Maiyah” ini bisa menjadi ikhtiar kebersamaan untuk terus menurus ndhedhernandur serta merawat benih-benih kelapangan hati, keluasan sudut pandang dan kejernihan berfikir sehingga menghasilkan kuda-kuda yang jejeg serta langkah yang mantap. Dan mudah-mudahan dari Rumah ini pula kelak akan tumbuh benih-benih baru yang senantiasa bersemi dari generasi ke generasi berikutnya. Generasi Pembaharu masa depan bangsa. (Andry)

Continue reading Ndhedher di Rumah Kedua

Berbahagia Menuntut Ilmu di Padhang Mbulan

 


Catatan Padhang Mbulan 26 Mei 2019

Bulan yang tidak pada bulatan penuh tidak mengurangi rasa syukur. Memuji Tuhan atas segala nikmat-Nya. Edisi kali ini Padhang Mbulan tidak berada tepat di pertengahan bulan Qomariah. Tanggal 26 Mei dipilih untuk mangayubagyo kelahiran dua pendekar Sentono Arum, Mbah Nun tanggal 27 Mei dan Mbah Mif tanggal 28 Mei.

Mengambil tema “Kunci Kebahagiaan – Cak Mif, Manusia Pendidikan”, Padhang Mbulan kali ini fokus mempelajari Mbah Mif sebagai manusia pendidikan. Miftahus Surur, begitulah nama lengkap Mbah Mif yang berarti Kunci Kebahagian. Malam ini memang banyak sumber kebahagiaan didapat.

Suasana Desa Menturo seperti ada hajatan layaknya pernikahan atau perayaan bersih desa. Disepanjang jalan sekitar Sentono Arum beriringan pedagang menawarkan dagangannya. Di antaranya pecel, nasi goreng, martabak, tahu solet, kacang. Tak ketinggalan odong-odong siap memberikan kegembiraan bagi adik-adik yang datang. Memang saat Padhang Mbulan digelar, Desa Menturo seakan sedang merayakan hari raya. Hari Raya Menturo, begitulah kiranya.

Saya sendiri datang lewat jalan dari arah barat. Jalan ini jarang dilalui orang yang akan datang ke Padhang Mbulan. Mayoritas melewati Desa Sebani yang lebih ramai dilewati orang. Setelah berbuka puasa, segera saya mengambil tempat duduk. Alhamdulillah menempati posisi di garis tengah antara panggung pakeliran dan panggung maiyahan. Dengan hitungan baris sekitar nomor 7 dari depan. Posisi terbaik berada di tengah-tengah. Tidak terlalu depan dan belakang.

Sejak ba’da Maghrib jamaah memang sudah ramai duduk rapi mengisi baris depan. Tujuan utamanya tentu maiyahan. Sehingga secara tidak sengaja jamaahnya menyebut dirinya Jamaah Maiyah. Nama “Jamaah Maiyah” muncul bukan karena keanggotaan, tanpa peresmian legal, apalagi baiat.

Panggung lain dari biasanya. Sebelah kiri pakeliran wayang dan sebelah kanan panggung untuk maiyahan lengkap dengan Kiai Kanjeng.

Pedagang asongan berlalu lalang di sela-sela jamaah. Berusaha mengamalkan “Wa laa tansa nasibaka min ad-dunya”. Ada beberapa yang datang dari jauh memang berniat maiyahan. Hasil dari penjualan untuk menutupi biaya perjalanan. Selama tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung, kegiatan ekonomi ini saling menguntungkan bagi jamaah maupun bagi penjualnya. 

Seperti biasa TPQ Halimatus Sa’diyah menempati urutan pertama dalam rangkaian acara. Kehadiran mereka menyiratkan rasa optimis akan terbitnya mentari baru. Adik-adik ini memang sudah terlatih setiap bulan menampilkan tartil, drama, qasidah, shalawat dengan formasi yang selalu berbeda. Betapa payahnya menjadi pengajar TPQ ini, setiap bulan harus melatih santrinya. Babul Farah-pintu surga bagi orang yang membahagiakan anak-anak-sudah siap sedia untuknya. Amin.

Pakdhe Qoyyum yang biasanya tartil pada malam ini melantunkan qiroah Surat Maryam ayat 1-15. Perbedaan tartil dan qiroah, tartil membaca Al-quran dengan pelan-pelan dengan komposisi lagu sederhana sedangkan qiroah melagukan Al-quran dengan suatu nada pakem yang lebih kompleks. Pakdhe Qoyyum mengakhiri dengan ayat wa salaamun ‘alaihi yauma wulida wa yauma yamutu wa yauma yub’atsu hayyaa. Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali. Persembahan qiroah Pakdhe Qoyyum atas ulang tahun Mbah Nun dan Mbah Mif.

Pakdhe-pakdhe Kiai Kanjeng mulai naik ke panggung. Pakdhe Qoyyum, Cak Yus, Pak Saiful, Mas Hilmi turut serta. Tak ketinggalan Ibu Via bersama Mbak Hayya juga bersiap memberikan beberapa persembahan.

Mbak Haya mempersembahkan lagu Yansin Gaceler. Lagu Turki ini memang langganan dicover bersama dengan Kiai Kanjeng ketika Mbak Haya menjadi vokalnya. Disusul Lagu kalimah oleh Ibu Via bersama vokalis lengkap Kiai Kanjeng.

Sebelum sesi Mbah Mif untuk dieksplorasi, Ibu Via yang sudah di panggung diminta pendapatnya mengenai pendidikan. Ibu Via sebagai ibu dari Haya, Jembar dan Rampak tentu punya kiat-kiat mendidik anaknya.

Saat pengambilan rapor anaknya, yang ditanyakan Ibu Via pertama kali bukan nilainya. Kejujuran yang utama. Sewaktu kolom kejujuran tertera “B”, dicari apa penyebab sang anak memiliki nilai itu. Memang nilai bisa diusahakan dengan rajin belajar namun kejujuran lebih penting karena buah dari proses pembentukan karakter.

Tentu ini banyak berbeda dengan lembaga sekolahan yang ada saat ini. Nilai merupakan hal terpenting. Sekolah terbaik adalah sekolah yang memiliki nilai terbaik, bagaimanapun caranya. Begitu juga dengan indikator pendidikan di suatu daerah. Nilai menjadi ranah politik untuk mengukur suatu daerah memperoleh predikat pendidikan terbaik.

Untuk itu, orang tua harus menjadi guru utama bagi anaknya. Guru di sekolah hanya membantu murid. Suatu kesalahan bila orang tua menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada guru sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Proses pendidikan karakter paling besar pengaruhnya adalah keluarga.

Mbah Mif mulai dieksplorasi untuk menggali lebih dalam bagaimana perjalanan hidup beliau. Keputusan Mbah Mif meninggalkan kuliahnya tentu bukan keputusan yang mudah. Pergolakan batin atas keputusan tentu banyak dilalui. Pada waktu itu, Farmasi UGM menjadi jurusan favorit. Ditambah, belum banyak kuliahan seperti sekarang.

Pertanyaan dari Mas Hilmi, “Saat itu Mbah Mif masih muda, tentu lumrah jika punya cita-cita. Apa cita-cita Mbah Mif?” Mbah Mif hanya menjawab dalam keluarga kami selalu ditanamkan “dadi opo wae iku ra penting seng penting manfaat gawe wong akeh.” Tentu ini sejalan dengan hadis nabi bahwa sebaik-baiknya manusia yaitu manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Tibalah saatnya pagelaran wayang yang ditunggu-tunggu. Mas Dalang Sigid Ariyanto bersama rombongan Sanggar Seni Cakraningrat dari Rembang. Membawakan lakon Dewa Ruci. Lakon yang sakral di cerita wayang. Bercerita tentang Brotoseno yang mencari ilmu kesejatian. Singkat kata akhirnya bertemu dengan dirinya sendiri dalam rupa yang kecil. Itulah Dewa Ruci.

Ngopi, ngrokok, duduk santai “njigang” adalah aktivitas maiyahan yang nikmat. Sungguh enak menjadi Jamaah Maiyah. Apalagi sekarang ada wayangan. “Fa biayyi Alaa-i Rabbikuma Tukadzdziban?”. Nikmat Tuhan mana lagi yang masih kurang saat ikut maiyahan.

Banyak pelajaran dari lakon ini. Brotoseno yang patuh pada perintah gurunya, Pandita Durna. Wejangan Semar tentang meminta maaf pada Sang Pembuat Kehidupan. Tak lupa bersyukur atas limpahan anugerah alam.

Perjalanan Brotoseno pun penuh liku-liku. Membuka hutan mencari “kayu gung sungsuhing angin” yang ternyata hanya apus-apus gurunya. Namun hikmahnya, bertemu dengan Batara Bayu dan Batara Surya yang memberi saran melakukan perjalanan ke Samudra Minangkalbu. Semar menjelaskan Minangkalbu berarti di dalam kalbu atau hatimu. Brotoseno mengarungi samudra mengalahkan binatang-binatang ganas. Bertemu Dewa Ruci yang lebih kecil dari dirinya sekitar 20 lipat.

Wayang usai. Sesi berikutnya maiyahan. Mbah Fuad, Mbah Mif dan tentu saja Mbah Nun sudah menempati posisi di panggung. Secara pelan-pelan Mbah Nun menjelaskan lakon wayang yang baru saja dipentaskan. Samudra bisa bermakna kehidupan ini. Penuh gelombang dan ombak yang mengombang-ambingkan perahu yang berlayar di atasnya. Untuk menemukan kesejatian hidup memang harus bekerja keras mengarungi samudra kehidupan ini.

Brotoseno yang masuk ke telinga Dewa Ruci tentu bukan peristiwa fisika materiil. Dewa Ruci dengan ukuran yang sangat lebih kecil dari Brotoseno menandakan ini peristiwa metafisika, peristiwa rohani. Lakon ini dari awal sampai akhir memang sebuah perjalanan rohani.

Mbah Fuad menerangkan tentang “ghulluwwun“. Berlebihan dalam membenci. Fenomena saat ini sangat berlebihan dalam membenci. Bertolak belakang dengan harapan doa di ayat Al-quran, “Wa Laa taj’al fi qulubina ghillal lilladziina amanu”.

Sudah sering Ulul Albab diterangkan Mbah Fuad maknanya. Malam ini diulangi lagi. Selain dipraktekkan, pelajaran memang perlu diulang-ulang agar benar-benar menancap menjadi sebuah kesadaran.

Albab jamak dari “lubbun”, kesadaran paling kecil di hati dan di pikiran. Salah satu arti dari Ulul Albab adalah orang yang bersedia menampung apa saja tapi sangat berhati-hati memilih tindakan outputnya, baik perkataan maupun perilakunya. 

Mbah Fuad juga menyinggung tentang thaghut. Jauhilah menyembah thaghut. Sikap berlebihan terhadap golongan, perkumpulan, madzhab, partai, organisasi.

Mbah Nun berpesan untuk tetap teguh. Saat maiyahan bisa bertahan duduk berjam-jam sampai menjelang subuh merupakan bukti bahwa kita sudah berada di gelombang yang berbeda dengan gelombang pada umumnya. Jangan terpancing dengan gelombang lain yang kurang mengerti dengan apa yang kita lakukan. Fokus saja berbuat baik. (Asrul)

Continue reading Berbahagia Menuntut Ilmu di Padhang Mbulan

Bacalah!

 


Reportase Sanggar Kedirian 10 Mei 2019

Lantunan Doa Tahlukah, Hizb Nashr, dan wirid Thibbil Qulub sebagai pembuka rutinan malam itu. Meski hampir tidak terdengar karena tenggelam oleh ramainya kendaraan yang berlalu lalang, namun tidak menyurutkan semangat sedulur Sanggar Kedirian untuk melingkar di lokasi baru: Taman Hutan Jayabaya.

Setelah wirid selesai, Kang Adnan menyampaikan poin-poin hasil dari Syukuran ‘Ajibah Maiyah pada waktu acara Padhang Mbulan kemarin. Dari banyaknya poin yang disampaikan, semakin menambah rasa syukur dalam benak saya-barangkali juga sedulur yang lain-karena dipertemukan dengan Maiyah. Dan shalawat Ya Thaybah yang  dibawakan oleh Kanjeng Kustik adalah salah bentuk syukur sebelum acara inti dimulai.

Para penatua Sanggar Kedirian membagi jamaah yang hadir menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok mempunyai tugas membuat tiga pertanyaan yang berkaitan dengan tema Wayahe Moco. Pertanyaan tersebut kemudian didiskusikan bersama-sama.

***

“Lebih dulu mana membaca dengan mengerti yang harus dibaca?” tanya perwakilan kelompok dua.

“Membaca ya membaca. Tidak perlu acuan untuk memulainya,” jawab perwakilan kelompok empat.

Sementara kelompok satu menjawabnya dengan menyodorkan sudut pandang lain, “Itu kebutuhan atau dibutuhkan?” Hanya kesadaran dari diri kita masing-masing yang mengetahui jawabannya. “Lantas bagaimanakah cara untuk menumbuhkan kesadaran?”

Kelompok tiga menjawabnya dengan menekankan perlunya menyelam ke dalam diri, berintropeksi. Misalnya dimulai dari hal sepele mengubah kebiasaan membuang sampah pada tempatnya.

Sementara kelompok dua menjawabnya dengan teori kesadaran, “Ada beberapa tahap dalam kesadaran: pertama kesadaran magis atau gerak refleks. Kedua, kesadaran naif: karena masih baru, maka ada sedikit keraguan dalam bertindak. Ketiga, kesadaran masif: mulai melakukannya dalam banyak hal. Dan terakhir, kesadaran praksis atau kesadaran tindakan.”

***

Sebelum acara dipungkasi dengan pembacaan shalawat, para penatua membekali sedulur-sedulur bagaimana cara menyikapi opini di media sosial yang menyudutkan Mbah Nun. Bisa dengan mengintrospeksi diri, jangan-jangan kita sendiri termasuk pihak yang menyudutkan. Bisa juga dengan merecehkannya dan mengisinya dengan konten yang mendinginkan isu.

Sebab semua pertarungan di media sosial, jika dilihat dari jarak pandang yang agak jauh, sebenarnya tidak lebih dari rekayasa para pemilik modal.

Continue reading Bacalah!

Indónésia Bòdò

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian, Malam Sabtu Legi 14 Juni 2019


Bodo artinya lebaran, tapi harus benar cara mengucapkannya. Bodo istilah lain dalam bahasa Jawa yang artinya lebaran. Bodo kalau salah ucap bisa bermakna bodoh sehingga ini menjadi menarik dikaji apakah kita merayakan hari raya secara tepat atau malah tergiring ke hal-hal yang bodoh dan jauh dari nilai hari raya Idul Fitri.

Hiruk pikuk mudik menjadi pemandangan umum setiap tahun. Macet di jalan sudah menjadi rutinitas. Desa menjadi ramai oleh kedatangan orang-orang asli desa yang tinggal di kota. Hari-hari biasa dengan rutinitas perkotaan serentak libur untuk sejenak.

Momen Idul Fitri menjadi waktu yang pas untuk mendatangi sangkan paran. Sungkem dan memohon restu adalah agenda utama ketika berkunjung ke orang yang lebih tua.

Pemberitaan di televisi juga demikian. Para politikus sibuk bersilaturahim. Ada juga yang mengadakan acara open house. Membuka rumah untuk khalayak umum bebas bersalaman dengannya.

Keadaan ini semestinya menjadi cermin dan momen untuk melupakan dan memaafkan segala pergulatan politik yang sebelumnya terjadi. Tingkah konyol perpolitikan luluh saat datang Idul Fitri ini.

Mbah Nun dalam tulisannya berjudul “Mudik ke Rumah Fitri”, “Tahap paling awal dari Mudik adalah belajar kembali menjadi manusia, manusia saja, atau manusia thok, tanpa embel-embel. Kalau kita Menteri, mudik adalah belajar tidak menjadi Menteri. Kalau kita penguasa, bersimpuh di lutut Ibu di kampung harus dengan terlebih dulu melepas baju penguasa. Jabatan, pangkat, reputasi, prestasi, status dan macam-macam lagi, adalah pakaian, jas, jaket, dasi, emblem, bahkan banyak yang fitri-nya sekedar bedak, pupur, gincu, kosmetika…”

Mungkinkah Indonesia dengan diwakili para pemimpinnya benar-benar melakukan “fitri”. Indonesia Bodo atau Indonesia yang berhari raya karena kembali ke kesuciannya. Atau Indonesia memilih dirinya menjadi Indonesia Bodoh dengan terus melakukan pertengkaran?

Indonesia sudah tidak boleh lagi salah baca dan ucap. Indonesia bodo, kalau salah ucap dan salah baca bisa berarti bodoh yang bisa menjadikan kita menjadi salah merayakan hari raya dengan kebodohan. Secara universal, Indonesia tidak boleh lagi salah baca dan salah ucap secara budaya ekonomi dan politik.

Atas hal diatas, maka kami mengajak dulur-dulur untuk melingkar sinau bareng di rutianan Majelis Masyarakat Maiyah Sanggar Kedirian untuk sinau Indonesia Bodo, Indonesia yang benar-benar “fitri” pada Jumat malam Sabtu Legi, 14 Juni 2019 di Taman Hutan Kota Joyoboyo Kota Kediri. Mulai pukul 20.30 WIB sampai selesai.

Salam lebaran mohon maaf lahir dan batin.

Continue reading Indónésia Bòdò

Pendidikan yang Mendidik

 


Kehidupan terus bergulir, tak berhenti, hingga tercipta skema jalur regenerasi. Begitupun jalur pendidikan. Pendidikan anak tercipta karena pemahaman dan pengalaman orang tua. Mempersiapkan generasi anaknya agar bisa lebih terampil dan mudah dalam berkehidupan. Inilah cikal bakal pendidikan formal.

Setiap orang tua tentu tidak memiliki keterampilan di semua bidang sehingga muncullah ide pendidikan dengan keterampilan tertentu. Meluasnya interaksi masyarakat melahirkan pendidikan formal seperti yang sekarang kita kenal.

Pendidikan pondok pesantren sebagai pendidikan semi-formal merupakan pendidikan yang tidak melupakan orang tua sebagai acuan awal pendidikan. Lembaga ini menerapkan pendekatan-pendekatan emosi. Interaksi guru dan murid menjadi lebih mudah dalam berbagi ilmu seperti orang tua dan anaknya. Namanya pondok pesantren syaratnya ya harus mondok/bermukim.

Pendidikan formal yang basisnya memposisikan pendidik hanya sebagai penyampai mulai mengikis metode pendidikan orang tua-anak dan merubah alur regenerasi pendidikan. Pendidikan yang awalnya mencakup berbagai lini mengerucut hanya beberapa saja. Tujuannya berubah menjadi urusan materi saja. Pengetahuan tidak membuahkan perbaikan perilaku. Maka seperti inilah warna pendidikan kita.

Kesimpulanya, monggo kita beteti dulu kemanusiaan kita. Baik sebagai orang tua ataupun sebagai penggagas pendidikan umum. Agar generasi kita tak hilang kemanusiaannya. (Fajar)

Continue reading Pendidikan yang Mendidik

Wayahe Moco

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian, Malam Sabtu Legi 10 Mei 2019


Kurang lebih dua tahun lalu dalam rutinan Sanggar Kedirian pernah membahas tema “Maos Ngaos Losss”. Paragraf pertama dalam pambuko tema tersebut begini: Selama masih ada kehidupan, selama itu pula kita akan tetap dihadapkan dengan kode-kode kehidupan. Tuhan telah membentangkan kode-kode-Nya di keluasan semesta. Kode-kode dalam Al-quran tekstual maupun yang kontekstual. Kode-kode inilah yang harus kita perjuangkan untuk dipahami, sebagai peta dan kompas penunjuk arah agar selamat menuju kepulangan yang sejati. Mengingat pentingnya belajar memahami kode-kode ini, Tuhan pun menganjurkan untuk iqra’ (bacalah) dalam firman-Nya yang pertama kali.

Lhadalah, ternyata ada banyak hal yang sudah dibahas pada tema terdahulu. Seperti membaca kode-kode Tuhan, baik yang tekstual maupun yang kontekstual, kemudian menghikmahinya sebagai penunjuk menuju ilaihi rajiun, dan masih banyak lagi. Lantas, masih relevankah tema “Wayae Moco” ini untuk kita bahas (lagi)?

Rasa-rasanya kok masih perlu. Kurang lebih sama seperti adzan yang terus menerus dikumandangkan tiap memasuki waktu sholat, seperti itu juga pentingnya pembahasan tema kali ini. Mungkin kita lupa hasil pembahasan terdahulu atau belum sempat melingkar bareng sedulur-sedulur Sanggar Kedirian. Atau jangan-jangan selama ini kita mengalami fenomena “salah baca” yang sempat disinggung Mbah Nun dalam tulisannya “Tak Kunjung Lulus Iqra”.

Mumpung tagline Sanggar Kedirian adalah “Perjalanan Diri Mengenal Diri” alangkah baiknya jika menyelam lebih dalam lagi untuk menemukan kode-kode atau rahasia Al-quran dalam diri kita. Sebagaimana para leluhur yang menemukan Al-quran di dalam dirinya, yang merasakan bahwa Al-quran adalah bagian alamiah dari dirinya, atau dirinya adalah bagian substansial dari Al-quran.

Sebab hal itu berbanding terbalik dengan metode yang selama ini kita-sebagai manusia modern-terapkan. Kita biasanya memandang dan menempatkan Al-quran sebagai bagian terpisah dari diri kita. Al-quran hanyalah sebatas obyek kajian ilmiah yang terus menerus dieksplorasi muatan ilmunya tanpa harus terbebani untuk mengamalkannya.

Monggo, sareng-sareng kita rembug bersama dalam rutinan malam ini.

Continue reading Wayahe Moco

Istiqomah Menuju Ghoyah Sejati

 


Reportase Let’s G(h)oyah, rutinan Sanggar Kedirian 5 April 2019

Kelak, malam Sabtu Legi Bulan April akan dikenang sebagai malam bersejarah bagi Sanggar Kedirian. Sebab pada malam itu… Nanti di akhir reportase saja penjelasannya. Ini namanya teknik foreshadowing, kalau tidak saya buat begitu pasti reportase yang teramat panjang ini akan membosankan. Jadi, nikmati saja. Sementara saya akan melanjutkan reportase lagi. Setelah protokoler pembukaan tunai dilaksanakan, sedulur-sedulur dikelompokkan; masing-masing kelompok beranggotakan enam-tujuh orang, diberi lembaran kertas yang berisi pertanyaan seputar tema Lets Ghoyah. .

“Sesungguhnya yang kita lakukan sehari-hari hanyalah sebatas washilah,” kata moderator, Kang Adnan, memantik diskusi. Kemudian disambung Lik Hartono, “Cobalah pakai teori 5W1H untuk mencari ghoyahmu.”

Kelompok Dua mendapatkan kesempatan pertama untuk menjawab pertanyaan pertama yang membicarakan soal pekerjaan dunia dan akhirat. Menurut Kelompok Dua, apapun yang kita lakukan saat ini adalah pekerjaan dunia. Setelah mati baru kita melakukan pekerjaan akhirat.

Jawaban tersebut disanggah oleh kelompok lain. Pekerjaan bisa bernilai dunia atau akhirat tergantung niatnya. Jika setiap pekerjaan berusaha untuk diakhiratkan-dicari kebaikan, manfaat dan kemaslahatannya-otomatis pekerjaan tersebut bernilai akhirat. Ada juga yang menjawab bahwa akhirat adalah perlambang konsekuensi. Siapa yang berbuat baik maka akan mendapat balasan kebaikan begitu juga sebaliknya.

Dari semua jawaban tersebut, manakah yang paling benar? Nanti dulu. Masih banyak pertanyaan dan tanggapan lain yang belum saya catat.

Pertanyaan kedua menyoal puncak pencapaian hidup. Kelompok Empat berpendapat bahwa puncak pencapaian hidup ialah bermanfaat bagi orang lain. 

“Kurang tepat,” sahut kelompok lain, “puncaknya kebahagiaan”.

“Fase klimaks dalam menggapai kepuasan adalah pencapaian hidup paling paripurna,” sanggah kelompok lainnya. 

“Bukan semua itu,” jawab kelompok paling ujung. Puncak pencapaian hidup yang paling haqueque ialah mendapatkan ijazah akademik.

Hmm, entahlah, realita hidup macam apa yang mereka temui sehingga membuat jawaban seabsurd itu. Yang jelas, selama saya bergabung dalam Sanggar Kedirian, baru kali itu forum sinau bareng terasa sangat interaktif. 

Beranjak ke pertanyaan ketiga soal respon terhadap unen-unen Arab yang membicarakan bekerja keras seolah-olah akan hidup selamanya dan beribadah dengan giat seakan esok akan mati. Kelompok Satu menjadikannya sebagai motivator hidup, Kelompok Empat mentadabburinya sebagai keseimbangan dalam berperilaku, Kelompok Lima menggarisbawahi pesan saat bekerja agar selalu ingat mati-sehingga bekerjanya menjadi lebih serius, jujur dan semangat. Sementara Kelompok Dua mengelaborasi semua jawaban tersebut menjadi begini: hal itu adalah motivasi agar kita bekerja dan beribadah dengan bersungguh-sungguh sehingga tercipta keseimbangan dunia dan akhirat. Super sekali kelompok ini.

Lantas bagaimana tanggapan anda soal tagline Sanggar Kedirian “perjalanan Diri mengenal Diri”? Kurang lebih seperti itu redaksi pertanyaan keempat. Sebagian besar menganggap bahwa “perjalanan Diri” merupakan washilah dan “mengenal Diri” adalah ghoyah. Sementara sebagian kecil sekali menganggap hal itu tidak lain hanyalah jargon komunitas di era medsos. 

Yang disebutkan terakhir salah satu pengikutnya adalah saya sendiri. Sebab saya bukan anggota Kelompok Lima yang meyakini efek perjalanan panjang suatu pekerjaan bisa menjadi parameter pekerjaan tersebut mempunyai nilai ghoyah. Kalau bernafas, misalnya, pekerjaan yang cukup dengan sekali helaan saja, apakah tidak bisa dikategorikan sebagai pekerjaan yang ber-ghoyah?

Inti dari pertanyaan kelima menyoroti hal itu: parameter ghoyah. Untungnya kelompok lain menengahi perbedaan ini dengan mengajukan terminologi istiqomah. Artinya setiap pekerjaan yang dilakukan secara istiqomah Insya Allah akan menuju ghoyah yang sejati. 

Lanjut ke pertanyaan nomor enam. Washilah dulu atau ghoyah dulu yang dijadikan pertimbangan untuk memulai pekerjaan? Kelompok Dua berpendapat washilah dulu sementara kelompok lain menganggap ghoyah dulu.

Sebenarnya pertanyaan tersebut tak ubahnya pertanyaan kuno yang menanyakan lebih dulu telur atau ayam. Namun masih saja dipertanyakan. Untungnya sedulur-sedulur Sanggar Kedirian melihat adanya keterkaitan dengan pertanyaan ketujuh. Jika tidak, mungkin debat kusir ala filsuf Yunani tidak terhindarkan lagi.

Begini pertanyaan ketujuh: mungkinkah ghoyah tanpa washilah? Saya rasa tak mungkin. Sebab ilmu ladunni sekalipun butuh washilah, entah lewat nirakati sendiri atau ditirakati mbah-mbahane. Beda cerita kalau Allah ikut campur. Tidak ada yang tidak mungkin. 

Menurut Pak Bustanul Arifin, Kanjeng Nabi pernah bersedih karena tidak kunjung mendapat wahyu. Kemudian Allah melalui Malaikat Jibril menurunkan surat ad-Dhuha sebagai pelipurnya. Lantas apa korelasinya dengan pembahasan washilah-ghoyah? Carilah sendiri! Jika tidak menemukan minimal sudah berusaha mencari. Nah, pencarian itulah washilah. 

Bekerja keras dan beribadah tekun juga termasuk washilah. Sebab kehidupan di dunia dan di akhirat itu saling berhubungan satu sama lain. Tujuan akhir dari pekerjaan dan peribadatan itu yang disebut ghoyah.

Bahasa quotable-nya begini: ghoyah adalah puncak dari segala upaya kita, sementara washilah adalah perjalanan untuk mencapainya. Jadi, washilah dan ghoyah tidak terpisahkan. Setiap wasilah pasti ada ghoyah begitu juga sebaliknya.

Pak Bustanul Arifin juga mengelaborasi washilah-ghoyah dengan potensi-titik optimasi makhluk Allah. Setiap orang diberikan potensi yang sama, hanya pengembangannya saja yang berbeda. Dari situ membuat titik optimasi setiap orang berbeda-beda. Titik optimasi itulah yang disebut ghoyah, begitu closing statement dari Pak Bustanul Arifin.

Acarapun diakhiri dengan Shohibu Baiti dan Sholawat Indal Qiyam, sebagai bentuk permohonan Sanggar Kedirian agar kelak di tempat rutinan yang baru masih terus beristiqomah gondelan klambine Kanjeng Nabi. Amin.

Continue reading Istiqomah Menuju Ghoyah Sejati