Konsistensi Pemimpin, Gembelengan Penguasa

Pambuko Sanggar Kedirian 7 Oktober 2016


Tentang pemimpin dan kepemimpinan sebenarnya bukanlah tema yang baru. Dimana-mana bahkan, hampir di setiap edisi Maiyah selalu ada pertanyaan yang mencecar tentang pemimpin dan kepemimpinan. Jamaah Maiyah mungkin hanya sebagian kecil dari masyarakat Indonesia yang menyadari bahwa ada yang salah dengan pengertian pemimpin saat ini.

Dalam kondisi keseharian maupun dari media, sepertinya kita memang memerlukan sesuatu  yang baru, walaupun mungkin kita belum bisa merumuskan apa dan bagaimana sesuatu yang baru tersebut. Yang jelas di dalam Sanggar Kedirian ini kita belajar, dan yang paling utama bukanlah ilmu yang kita dapatkan melainkan input-input yang akan mengaktifkan sel-sel dalam otak kita sehingga dapat menghasilkan cara atau pola berpikir yang baru.

Representasi manusia untuk menjadi khalifah terdiri dari jasad dan roh. Roh disimbolkan oleh warna putih dan jasad oleh warna hitam. Begitu pula dialektika Jawa, yang tergambar dalam tokoh Semar. Putihnya Semar terjadi ketika dia menjadi bathara di kahyangan sebagai Ismaya. Tapi kemudian dia harus turun ke bumi, menghitamkan diri. Kain poleng dalam Dewa Ruci menggambarkan bahwa memang kita hidup di antara hitam dan putih. Mungkin hal itu terkait juga dengan dinamika Sunan Kalijogo dengan ilmu hayat-nya (ilmu untuk menghidupkan). Dalam Jayabaya disebutkan, ”Suatu saat akan ada gabus putih yang  tenggelam dan batu hitam yang mengapung. Mungkin akan ada suatu titik dimana Tuhan sendiri hadir dengan meluluhlantakkan umat-Nya dengan gunung meletus, gempa bumi, dan sebagainya. Informasi-informasi itu ada di dalam Alquran, dan seharusnya kita pelajari.

Dalam televisi misalnya, mengapa yang penting kok nggak ditayangkan, dan yang nggak penting justru ditayang-tayangkan? Inilah yang namanya mengembarakan nafsu. yang mendasarinya adalah suka atau nggak suka, padahal nafsu itu harus di-manage. Apakah ketika kita meneriakkan revolusi, kita sudah cukup mampu mengendalikan nafsu kita?

Menjadi kaya adalah isi utama kepala manusia Indonesia, untuk itu dipilih cara dan jalan yang paling bodoh dan malas yaitu akting menjadi pemimpin, ustadz, artis, wakil rakyat, lembaga zakat dan infak atau apa pun.

Manusia sering tidak tahu akan dirinya sendiri. Pengelompokannya sebagai berikut:

  1. Ada orang yang mengerti dan mengerti bahwa dia mengerti;
  2. Ada orang yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa dia mengerti, maka bangunkanlah dia;
  3. Ada yang tidak mengerti dan mengerti bahwa dia tidak mengerti, belajarlah;
  4. Ada orang yang tidak mengerti tapi tidak mengerti bahwa dirinya tidak mengerti, dialah sontoloyo;
  5. Ada orang yang tidak mengerti tapi tidak tahu bahwa dirinya tidak mengerti tapi berlagak mengerti.

Pada jaman sekarang, kita mendapat anugerah pemimpin dengan nomor 1 atau malah sebaliknya, mendapat adzab dengan pemimpin dengan nomor paling bawah?

Kita masing-masing adalah seorang pemimpin. di mana saja. Saya pernah membaca di buku filologi yang membedakan kepemimpinan Rasulullah dengan kepemimpinan umum, yaitu konsep Imam dan Ra’is.

Dalam Al-quran, para nabi disebut sebagai Imam. Kalau jaman sekarang untuk kata pemimpin dipakai Ra’is. Ada perbandingan antara etimologi Imamah dan Ri’asah. Imamah akar katanya Umm (Ibu) maka paradigma kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan sebagaimana seorang ibu atau melayani; kepemimpinan yang melindungi, yang mencurahkan kasih sayang. Sementara Ri’asah berasal dari kata ra’sun (kepala), yang sifatnya selalu ingin di atas, selalu ingin dihormati, sehingga seringkali ia menjadi begitu lemah. Mbuka pintu mobil, mbawa tas aja dia nggak bisa.

Manunggaling kawulo lan gusti, Allah dan rakyat bersatu di dalam hati pemimpin. Kalau pemimpin mengingkari Allah, rakyat yang menangis. Kalau pemimpin menyakiti hati rakyat, Allah yang murka.

0 komentar:

Posting Komentar