Pambuko Sanggar Kedirian 21 Oktober 2022
Baru-baru ini kita semua patut berduka atas kejadian yang menimpa dulur-dulur kita di Kanjuruhan. Kejadian yang memakan korban ratusan manusia. Namun apalah arti sebuah peristiwa, jika kita tidak bisa memetik hikmahnya? Bukankah sudah kewajiban kita (Jamaah Maiyah) untuk bersama mengais hakikat yang terserak, merawat yang terluka dan merangkul yang terpinggirkan dari setiap sendi dan nadi kehidupan?
Selayak memberi tafsir pada permainan sepak bola rasanya memang seperti menelaah kehidupan. Didalamnya ada proses, ada filosofi yang mendasari suatu motif perbuatan. Ada tangis dan tawa, ada konsekuensi, ada kegelisahan, ada rasa marah, ada rasa malu, ada rasa cinta dan saya yakin masih banyak lagi yang lainnya. Seakan sepak bola menjelma menjadi hidup itu sendiri, namun tentunya dengan konstruk dan sistem yang berbeda.
Ambil saja satu contoh dari konstruk di atas, misalnya rasa cinta. Cinta pada sepak bola. Kerelaan berjubel, berbondong-bondong, berjejal mengantri, kepanasan - kehujanan sekian jam untuk menyaksikan tim kesayangannya. Dan jika seandainya saja kecintaan serta kegilaan itu pula yang digunakan untuk menuju Allah dan Rasul-Nya, bisa kita bayangkan dahsyatnya.
Kemudian mari kita pertajam entry point-nya. Setelah lebih dari dua dekade berlalu, kejadian yang sama di Peru yang kemudian menempatkan peristiwa Kanjuruhan kemarin berada di posisi terburuk ke-2 di dunia. Selama kurun waktu 20 tahun tersebut, apa yang terjadi dengan kita? Tidakkah kita mau berkaca sebentar saja dan bertanya dalam hati kecil kita masing-masing: Sebenarnya saat ini kita ada di stadium yang mana?
Kalau menyitir Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata stadium bisa diartikan tingkatan dalam daur hidup atau perkembangan dari suatu proses. Atau cara jawane: Wis sampek tekan endi rek awake dewe berproses? sampai stadium berapa? Stadium yang mana? Stadium "Kanjuruhan"-kah??
Tanpa bermaksud untuk menyinggung siapa pun, tidak pula bermaksud untuk menghakimi siapa dan apa pun itu. Bermuhasabah dan membiasakan diri bersujud dalam posisi apa pun. Menang atau kalah, senang atau sedih. Lalu kemudian sewajarnya, bahkan selayaknya bertawakal dan bersyukur karena telah melakukan segala hal terbaik yang kita bisa.
Maka kata Allah, "Wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib". Janji Allah untuk hambanya yang tawakal dalam rentetan lika-liku kehidupan yaitu mengganti semuanya dengan kelapangan rezeki dari arah yang tidak kita sangka.
Monggo duduk melingkar dalam satu lingkaran kebersamaan. Ber-muhasabah, saling sinau, mengaji dan mengkaji segala hal dari berbagai sudut pandang. Mengakrabkan diri dengan kesejatian. Menempa jiwa melalui rasa cinta dengan puncak kerinduan pada Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Sampai bertemu di Rutinan Majelis Sanggar Kedirian di Kampus Tribakti yo, Lurr. Jumat malam Sabtu Legi, 21 Oktober 2022, pukul 19.30-23.00 WIB di Kampus Tribakti, Kota Kediri.
🙏🏻Salam-Salim🙏🏻
0 komentar:
Posting Komentar