Pangapuran

Pambuko Rutinan Sanggar Kedirian 11 September 2020

Pangapuran atau pengapuran atau apapun itu namanya, yang penting masih ada kaitan kebahasaan dengan frasa "maaf" mempunyai beragam cerita dan beberapa lapisan. Misalnya "maaf" yang dipertukarkan dalam ucapan Lebaran tak akan terasa sedalam kata "maaf" yang diberikan kepada sedulur yang pernah kita sakiti.

Maka apa arti tema malam ini kalau sedulur yang pernah kita sakiti sudah memaafkan bahkan sebelum diminta? Inilah mula-mula yang harus diurai.

Sanggar Kedirian (SK) adalah sebuah wadah besar yang menampung berbagai macam orang. Adakalanya ketidakcocokan dalam berargumen, bersikap, juga bersosialisasi itu adalah keniscayaan. Kadangkala ketidakcocokan tersebut merenggangkan paseduluran yang kita bangun bersama, itu juga wajar. Namun kalau kita sampai menganggap bahwa SK tak pernah bisa jadi wadah bagi siapa saja, kapan saja, dan hanya merupakan alat kekuasaan kelas tertentu di ruang dan waktu tertentu, maka alangkah Marxis-nya kita ini. 

Bagi penganut Marxisme, wadah besar ini bukan sesuatu yang siap. Ia menjelma bak proyek penertiban; unsur dan bagian-bagian diklasifikasikan, diberi sebutan, posisi, dan peran. Mungkin sekilas tampak utuh, tapi dalam tersusunnya sistem itu selalu ada "bagian yang tak punya bagian". Di situlah titik rawan sengketa bermula.

Jika persengketaan tak bisa lagi dielakkan, lantas siapakah yang bersalah? 

Dari sini alangkah lebih baiknya jika mengoreksi diri sendiri. Kanjeng Nabi, yang kita elu-elukan syafaatnya, dalam banyak riwayat sering mencontohkan kebesaran hati dan jiwanya untuk memaafkan orang-orang yang menyakitinya bahkan sebelum diminta. Apakah kita bisa menirunya? Kalau tidak, bayangkan jika esok di Yaumul Mahsyar, saat sedang gondhelan jubahe beliau, kemudian ditanya, "Kowe sopo?"

Maka, monggo malam ini sareng-sareng melingkar,  bersholawat dan mengintimi pembicaraan yang langka ini. Shollu 'ala an-nabi Muhammad.

0 komentar:

Posting Komentar